bahagia yang bertumbuh

Tree Triplets
tree triplets. seperti pohon, bahagia itu bisa bertumbuh.

Robin Lim masih ingat bagaimana bersemangatnya bidan-bidan muda yang ingin belajar menulis dari Alfred Pasifico, seorang jurnalis yang juga sahabat baik anaknya Lakota Moira dan Robi Navicula. Robin sangat bersemangat tentang konsep memberikan bidan kesempatan belajar menulis. Menulis buat Robin adalah sarana yang memungkinkan ia menyebarkan pengaruh baik, bukan hanya kepada perempuan yang melahirkan di Bumi Sehat ini, tetapi kepada lebih banyak lagi perempuan di luar Bali.

‘Aku sangat memercayai kekuatan tulisan. Kita dapat menggunakannya untuk hal baik dan buruk. Jadi aku merasa kalau aku memberikan sedikit hatiku kepada para jurnalis-jurnalis muda ini, meski hanya sebentar, itu bukan hanya sekadar membuat mereka bahagia atau akan membantunya dalam karier, tetapi juga memberiku banyak kebahagiaan yang akan terus bertumbuh.

‘Tidakkah kamu suka itu? Bahagia yang bertumbuh?’ Robin melontarkan pertanyaan yang sepertinya tak membutuhkan jawaban saya. ‘Terkadang, ketika jurnalis-jurnalis itu datang ke rumah bersama Eka, aku hanya bisa memberikan tatapan seperti ini kepada Eka,’ Robin menunjukkan sebuah ekspresi kepada saya, mulutnya mengucapkan sesuatu tanpa suara yang bisa saya baca, ‘Kamu mengizinkan mereka ke sini?’, ‘Lalu Eka akan menjawab seperti ini, “Maaf, Ibu, tetapi  mereka memohon,” dan aku pun akhirnya bilang, “Baiklaaaaaaah”.’

Saya tertawa melihat cara Robin mengatakan ‘baiklah’ dengan nada panjang. Nada yang entah kenapa menggambarkan bahwa ia mengerti kondisi semua pihak dan tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain menjalani wawancara itu. Menjalani apa yang tengah dihadapinya ‘sekarang’ dengan sungguh-sungguh.

Kau baik.

Robin tergelak. ‘Bahagia yang bertumbuh membuatmu sanggup meregang. Menggembungkan diri. Aku punya sebuah cerita soal bagaimana bahagia ini bisa bertumbuh. Pernah satu hari aku keluar dari ruang bersalin pukul sembilan pagi,’ cerita Robin tanpa putus. Rupanya hari ini, dia sedang ingin banyak bercerita.

Kata Robin, ia berada di ruang bersalin sepanjang malam karena ada lima kelahiran yang harus ia tangani. Pukul sembilan pagi keesokan harinya, ketika ia baru keluar ruangan dan hendak kembali ke rumah untuk beristirahat, ia disambut para reporter televisi yang ingin mewawancarainya. Mereka menunggui Robin di depan ruang bersalin. ‘Ibu, apakah Ibu bisa kami wawancarai sekarang?’ tanya seorang perempuan muda yang terlihat segar, yang mau minyak wanginya tercium samar di hidung Robin. ‘Padahal, kau tahu, aku belum mandi, belum gosok gigi, belum makan malam dan belum juga sarapan, belum tidur, dan nyamuk mengisap darahku sepanjang malam,’ ujar Robin sambil mengendusi tubuhnya sendiri seolah saat itu yang sedang mengalami apa yang ia ceritakan.

Kau mengiyakan?

‘Aku bilang, “Baiklaaaaaaaah.”’ Robin merentangkan kedua tangannya ketika mengatakan ‘baiklah’ dengan nada panjang seperti sebelumnya.

Kenapa kau tak bilang kau butuh waktu merapikan diri, Bu? Kau yakin kau tampil cukup menarik di televisi dengan pakaian kemarin yang bau keringat? Saya berusaha berkelakar mendengar ceritanya.

Robin tergelak, sepasang matanya membelalak jenaka, menampilkan sisi usil Robin. ‘Hah! Kurasa tak ada satu pun yang menyadari itu!

Dan kau bertanya apakah aku bahagia melakukan wawancara pada saat kondisiku sedang sangat berantakan dan kelelahan?’

Saya menatap Robin intens, menunggu jawaban dari pertanyaan saya yang diulangnya.

‘Aku yang memilih melakukannya dengan mengatakan, “Baiklah.” Dan sejujurnya, saat itu aku merasa bahagia telah memutuskan melakukannya.’ Robin berdiri dari kursi, ia pergi ke arah almari di mana ia biasa menyimpan teh. ‘Aku punya teh baru. Aromanya seperti bunga. Kau harus mencobanya.’

Saya mengamati Robin yang tampak sibuk menuangkan air hangat dari termos ke poci teh. Sesekali, ia mengendusi teh beraroma bunga yang akan diseduhnya. Sosok dirinya di dapur yang tengah sibuk menyeduh tampak jauh di awang-awang. Saya jadi bertanya-tanya apakah ia pernah berpura-pura bahagia.

‘Cobalah!’ katanya menyodorkan secangkir teh kepada saya. Saya mendekat mengambil cangkir teh itu sambil berkata,

Pertanyaan terakhir untuk hari ini, Bu. Kuharap kau masih mau menjawabnya.

‘Aku akan selalu menjawab pertanyaanmu.’

Apa kau pernah, uhm, bisa berpura-pura bahagia? Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut saya setelah sesaat sempat ragu untuk menanyakannya kepada Robin.

Robin menyahut cepat, ‘Aku punya teori sendiri tentang berpura-pura bahagia.’ Jawabannya di luar dugaan saya. ‘Begini,’ sambungnya sambil menyesap teh yang beraroma bunga.

Ada saat di mana seseorang harus berpura-pura. Robin mengalami itu ketika ia menjadi orang tua tunggal. Ia harus mengasuh dan mengurus anak-anaknya, tetapi tak ada seorang pun yang mengurus dirinya. ‘Aku tak akan bohong, itu saat di mana terasa sangat sulit untuk berbahagia. Namun, untuk bisa membesarkan anak-anakku, aku butuh berbahagia. Jadi, kuputuskan untuk berpura-pura bahagia meskipun itu luar biasa sulit karena anak-anak bisa membaca yang sebenarnya,’ kata Robin.

Saya bertanya apakah kemudian ia berhenti berpura-pura karena anak-anak sebenarnya mengetahui hal itu. Robin menggeleng. Ia bilang ia telah memutuskan untuk berbahagia demi anak-anaknya, maka lambat laun berbahagia yang awalnya pura-pura menjadi kebiasaan. ‘Waktu berlalu, aku menyadari bahwa aku kemudian terbiasa bahagia. Aku tumbuh bersama bahagia. Aku tak lagi pura-pura.’

Saya baru akan mengucapkan sesuatu ketika Robin mengatakan bahwa ia tahu pertanyaan tadi bukan pertanyaan terakhir yang akan saya ajukan hari itu. ‘Tapi, baiklah, apa lagi pertanyaanmu?’ tanyanya sambil memeletkan lidah.

Saya tertawa kecil mendengar perkataan dan melihat ekspresi Robin. Kau tak keberatan? Kita bisa menyudahinya.

Robin menggelengkan kepala, ‘Go on.’

Mendengar ceritamu aku hanya berpikir bahwa berpura-pura bahagia boleh kita lakukan selama kita punya alasan bagus.

‘Kita tak memerlukan alasan untuk menjadi bahagia. Kenapa kau harus berpura-pura untuk sesuatu yang menjadi hak asasimu sebagai manusia?’ [13]

windy ariestanty

Author: windy ariestanty

a writer who loves traveling and falling in love with places she hasn't visited and people she hasn't met yet. she thinks that she is the wind.

10 thoughts on “bahagia yang bertumbuh”

  1. Saya pernah melihat Ibu Robin di beberapa media dan di Bumi Sehat miliknya, raut wajahnya itu memang benar-benar menyejukan. Cara beliau memandang banyak hal juga luar biasa.

    Cara Mbak Windy bercerita juga luar biasa.

    1. wah! kamu pernah ke bumi sehat? saya percaya setiap manusia adalah ‘buku-buku’ yang menarik untuk dibaca. terima kasih banyak juga sudah menyimak cerita-cerita saya.

    1. hallo! maaf, saya baru baca komentarnya. terima kasih banyak, ya, sudah mengikuti kisah ibu robin lim sejak mulai saya menuliskannya di tumblr.

  2. Mbak W, tulisanmu seperti teh beraroma bunga di tengah hujan. Menghangatkan hati dan menentramkan kalbu.

    ‘Kita tak memerlukan alasan untuk menjadi bahagia. Kenapa kau harus berpura-pura untuk sesuatu yang menjadi hak asasimu sebagai manusia?’ –> terima kasih untuk cubitan dan jalaran kehangatannya.

  3. itu bukan hanya sekadar membuat mereka bahagia atau akan membantunya dalam karier, tetapi juga memberiku banyak kebahagiaan yang akan terus bertumbuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *