
‘Ada apa di Shandong?’ adalah pertanyaan pertama yang diajukan Alexander Thian setelah ia menjawab ‘mau’ dengan cepat ketika saya mengajaknya ke Shandong. Alex tentu saja bukan satu-satunya yang begitu. Pertanyaan itu dipastikan selalu menjadi pertanyaan pertama yang mengikuti saban kali mulut saya melontarkan ‘Shandong’.
Namun, mana ada ada yang salah dengan pertanyaan dan ketidaktahuan. Seperti kata Konfusius, mereka yang bertanya mungkin sesaat akan terkesan bodoh, tetapi mereka yang tidak bertanya justru terjebak kedunguan selamanya.
Jadi, saya biarkan Alex terus bertanya sembari saya sendiri mencari jawabannya.
Kalau kalian salah satu dari orang yang melontarkan pertanyaan serupa, maka ini (bisa jadi) jawaban yang akan mengantarkan kalian menemukan jawaban-jawaban lainnya.

Situs Warisan Dunia UNESCO dan Serbasatu

Saya sendiri sejujurnya tidak tahu banyak tentang Shandong, selain provinsi ini ada sebuah kota kuno bernama Qufu yang merupakan kampung halaman Konfusius. Ini pun saya tahu lantaran terlalu rajin mengamati daftar warisan dunia UNESCO. Seperti kata Riyanni Djangkaru, kami berdua sesungguhnya ‘bucin—budak cinta’ situs warisan dunia UNESCO. Apa saja yang ada kaitannya dengan ini, pasti mauan. Nah, Qufu masuk ke daftar situs warian dunia UNESCO, sedangkan Konfusius sendiri bukan nama asing buat saya. Saya mempelajari (sedikit) pemikirannya, terutama dalam politik dan kehidupan bernegara ketika menempuh pendidikan di Jurusan Politik dulu.

Soal Qufu dan Konfusius, saya ceritakan nanti. Ini bisa panjang sekali dan saya khawatir kita akan membutuhkan berbotol-botol bir Tsingtao buatan Shandong yang tersohor itu agar bisa membicarakan dengan penuh rasa humor tentang Sang Orang Bijak yang dianggap membawa negeri Tiongkok keluar dari era kegelapan. Bagaimana tidak, ajaran sang filsuf yang dianggap melampaui zamannya ini baru dikenal dan diterima luas sampai ke negeri Barat justru setelah ia meninggal dunia.
Selama dinasti Qin (221-206 SM), Konfusianisme dianggap sebagai bidat, dan buku-buku Konfusianisme dibakar. Sebaliknya, selama dinasti berikutnya, yaitu Han (206 SM-220 M), Konfusianisme diadopsi sebagai ideologi negara.
Pada periode Republik (1912-1949) dan dekade awal pemerintahan Komunis, Konfusianisme secara luas ditolak dan dicerca sebagai ideologi tradisionalis, feodalis, dan membawa kemunduran sehingga menghambat modernisasi Tiongkok. Namun, terlepas dari kritiknya, warisan Konfusius terus memengaruhi masyarakat Tionghoa bahkan hingga hari ini.
Sampai di sini, saya rasa, kita sudah mulai perlu bir bukan?

Selain sejarah dan budayanya, Shandong juga terkenal dengan landskap alamnya. Atraksi wisata di provinsi ini rata-rata peringkat AAAA dan AAAAA. Salah satu yang saya ingat adalah Tai Shan. Tai Shan, yang berarti Gunung Tai mengingatkan saya kepada setting film-film silat Tiongkok yang sering saya tonton waktu kecil. Puncak purba berusia ribuan tahun yang menjulang, kuil-kuil berselimut salju dan kabut tebal, serta hutan dengan pepohonan yang berubah warna mengikuti musim. Gunung ini adalah gunung tersuci dan terpenting bagi penganut Tao, Buddha, dan pengikut Konfusius. Dan… ya! Tai Shan pun masuk ke daftar situs warisan dunia UNESCO karena merupakan puncak tersuci dan paling dihormati di antara lima puncak suci Tao di dataran Tiongkok.

Bila orang-orang di Tiongkok Selatan bangga dengan segudang gunung, sungai, dan kaum cerdik pandai yang dimilikinya, maka konon orang-orang Shandong percaya diri bersaing dengan mengandalkan serbasatu yang mereka miliki; satu gunung tersuci, paling dihormati, dan yang paling banyak didaki para peziarah di bumi ini—Tai Shan, satu sungai yang menjadi tempat lahirnya peradaban Tionghoa di mana aktivitas pertanian bermula di lembah ini—Sungai Kuning, dan satu orang bijak yang disegani para kaisar dari seluruh dinasti di Tiongkok—Konfusius.



‘Serbasatu yang paling’ inilah, yang membuat Shandong istimewa. [13]
Bersambung ke:
Shandong: Tentang Orang Terbijak, Tempat Tersuci, dan Seni Bertanya (2)
Dapat banyak pengetahuan baru Konfusius habis baca tulisan ini. Btw, kadang saya suka bertanya-tanya gimana rasanya lahir, besar, dan menetap di tempat-tempat “suci” dan bersejarah seperti Qufu ini, atau Lumbini, Betlehem, Nazareth, atau Mekah? 🙂
Anyway, bir Tsingtao-nya menggoda!
seperti tempat-tempat yang kita diami. semua hanya masalah perspektif.