Saban keluar dari gerbang sekolah, ada satu lelaki yang selalu kucari. Namanya Mbah Tar, tukang becak sebelah rumah di Blitar yang bertugas mengantar dan menjemputku.
Becak Mbah Tar tergolong becak jadul pada masanya. Besar, gendut, dan berat. Berbeda dengan becak-becak baru yang rata-rata dimiliki tukang becak lainnya; lebih kecil, lebih ramping, dan lebih ringan. Tudung becak milik Mbah Tar melengkung setengah lingkaran—mirip tudung kereta kuda di buku-buku dongeng kerajaan, sedang yang lain lurus lalu merendah di depan. Bagian depan becak Mbah Tar, tempat pijakan kakinya, mencuat. Mantet (panggilan untuk nenekku yang Cina) selalu mengingatkan agar aku duduk rapi dengan kaki rapat dan tidak mengangkang supaya celana dalam tak terlihat. Tangan harus aku letakkan di pangkuan agar rok tidak tersibak angin. Banyak betul aturan naik becak ini.
Waktu kecil, saban Mbah Tar mengayuh becak, aku selalu menoleh ke belakang. Aku bilang kalau kakiku sudah lebih panjang, aku akan bisa menggantikannya mengayuh becak. Dia sering terkekeh dan bilang kalau kakiku sudah lebih panjang itu artinya tugas dia antar-jemput selesai. Aku pasti akan punya sepeda atau sepeda motor, tidak lagi naik becak. ‘Terus Mbah Tar nanti gimana?’
‘Antar-jemput Mantet ke gereja dan ke pasar. Itu juga kalau kalian masih tinggal di sini.’ Keluarga kami berpindah-pindah. Blitar adalah kota kecil pertama di Jawa yang jadi tempat penugasan Papa setelah sekian tahun kami di Sulawesi.
Mbah Tar digaji bulanan oleh orangtuaku. Gampang menandai kalau dia habis gajian. Dia suka mengajakku jajan di warung kecil sebelah rel kereta api. Di sana banyak tukang becak berkumpul. Mbah Tar akan membelikan aku ubi rebus atau pisang goreng beserta teh manis—aku bilang aku tak suka teh manis, dan sejak itu Mbah Tar akan menggantinya dengan es lilin.
Kalau tidak diajak nongkrong di warung sebelah rel kereta api, Mbah Tar akan membelikanku es potong di depan gerbang sekolah. Di depan sekolahku banyak penjualan makanan. Begitu bel pulang berbunyi, murid ramai-ramai keluar gerbang dan menyerbu tukang penjual jajanan favorit kami. Uang jajanku terbatas, jadi tidak setiap saat aku bisa jajan.
Satu hari, aku ngambek ke Mama. Mama membelikan sepatu hitam yang bukan keinginanku. Kata Mama uang tabunganku tidak cukup beli sepatu keinginanku. Kalau aku mau sepatu itu, aku harus menabung lagi. Sayangnya, sepatu lamaku sudah menganga. Mama menolak menambahi uang tabunganku untuk mendapatkan sepatu yang kumau. Dia bilang seharusnya aku lebih rajin menabung—bukan jajan—kalau ingin punya uang lebih banyak sehingga bisa mendapatkan sepatu impianku.
Mama punya peraturan sendiri soal uang. Aku tidak tahu apakah semua anak mengalami yang aku alami. Setiap menginginkan sesuatu, ia akan bertanya berapa tabungan yang kami miliki. Kurangnya akan ia tambahi, jumlahnya sesuai dengan yang ia tetapkan. Jika tak cukup juga, ya pilihannya menabung lebih lama atau lebih banyak. Tak ada tambahan bantuan sama sekali. Untuk dapat menabung lebih banyak, berarti mengurangi jajan atau melakukan sesuatu yang bisa diupah. Pilihannya: mencabut uban Mama atau menyemir sepatu kerja Papa-Mama sampai mengilap. Keduanya membosankan untukku. Aku lebih suka menemani nenekku ke gereja, kebaktian, atau ke pasar. Namun, itu semua tidak ada upahnya.
Jadilah aku harus memakai sepatu hitam yang bukan keinginanku. Aku pergi ke sekolah dengan lesu dan bibir mencucu cemberut. Memakai sepatu baru harusnya bikin senang, tetapi aku merasa kakiku berat sekali dan makin sebal saban kali melihat sepatu yang aku kenakan. Mbah Tar bilang sepatu hitamnya terlihat bagus. ‘Mbah Tar bilang gitu karena nggak tahu sepatu yang aku mau, sih.’ Dia terkekeh sambil terus mengayuh becak sampai di sekolah. Bahkan ketika bel pulang berbunyi dan semua anak berlari kesenangan ke gerbang sekolah, Aku tetap berjalan gontai sambil menatap sebal sepatu hitam merek Bata yang akan menemaniku sampai nanti rusak. Merek satu ini awetnya bukan kepalang. Bisa-bisa sampai aku pindah lagi, belum tentu aku perlu sepatu baru. Prinsip Mama jelas, sepatu baru didapat karena sepatu lama rusak, bukan karena anak-anaknya pengin yang baru. Supaya tidak cepat rusak, harus cari sepatu yang kuat. Kalau kami masuk ranking tiga besar, baru boleh memilih barang apa pun yang disukai. Tapi ya itu tadi, harus jadi juara kelas dulu. Susah betul.
Mbah Tar berdiri di depan gerbang. Topi merahnya susah diacuhkan. Ia melambai-lambaikan tangan. ‘Beli es potong, ya.’
‘Kan, bukan hari gajian,’ kataku.
Sambil menenteng tas sekolahku, Mbah Tar menggandeng tangan kecilku, mengarahkan langkah ke bawah pohon, tempat penjual es potong berada. Anak-anak sekolah berkerumun di situ dan suara ‘Mang, aku yang lima puluh’, ‘Mang, Aku yang seratus’ terdengar riuh rendah. Aku turut menjejalkan diri ke kerumunan. Mbah Tar menunjuk ke pengemis yang duduk ngemper di trotoar, sebelah penjual es potong. Ia mengingatkan jangan sampai kakiku menginjak mereka karena asyik berebut giliran.
Aku bergeser sambil melihat ke perempuan pengemis bersama anak laki-lakinya yang tak lebih besar dariku. Tangannya menengadahkan mangkuk plastik. Ketika dia memindahkan jarik batik di paha ke kepala keduanya untuk melindungi ubun-ubun kepala dari sengatan matahari, aku melihat sesuatu yang membuatku pertama kali mengenal perasaan ‘membeku’ dan ‘seperti disengat lebah’: sepasang kaki anak lelaki itu buntung.
Mbah Tar menggoyang tanganku. ‘Yang ukuran paling kecil saja, ya.’
Aku menggeleng, kehilangan semua minat. Tiba-tiba merasa sangat bersalah karena membenci Mama sejak kemarin gara-gara sepatu baru tak sesuai mauku. Padahal di luar gerbang sekolah ada anak kecil yang tak berkaki. Jangankan mengenakan sepatu baru, rasanya punya kaki saja ia mungkin tak pernah tahu.
Mbak Tar kembali menggoyang tanganku.
‘Uangnya boleh buat dia saja, Mbah?’ Mbah Tar meletakkan uang koin lima puluh rupiah di mangkuk mereka tanpa mengatakan apa pun.
Kami pulang. Di perjalanan, aku minta tudung becak dibuka, angin menerbang-nerbangkan rambutku ke mana-mana. Aku duduk terbalik, menghadap Mbah Tar yang sedang mengendarai becak lalu bilang kalau sudah agak besar, aku akan belajar mengendarai becak. Mbak Tar nanti boleh duduk jadi penumpang, gantian. Mbah Tar terkekeh. Becak mendekati rel kereta api. ‘Mbah mau minum kopi. Kamu mau ubi rebus?’
‘Nanti uangnya habis. Kan, belum gajian.’
Becak berhenti. ‘Yok. Mudun—turun.’
Aku meloncat turun dari becak lalu masuk ke warung dengan melompat-lompat. ‘Loh, si non sepatune anyar—si non sepatunya baru!’ tegur Mbok Warung. Aku tersenyum lebar sambil menggerak-gerakkan kakiku, memamerkan sepatu baru. Mbah Tar kali ini tertawa, memamerkan gusi depannya yang ompong. [13]
Mbah Tar sosok yang menarik. Antara lain mentraktir nonik pelanggan. Ajaib juga ya
iya. nggak pelit dan dia menyimpan tulisan-tulisanku di kertas yang tercecer sewaktu kami pindah. 🙂
Hallo Kak W, setiap baca tulisannya, saya selalu berpikir, bagaimana bisa menjadi seperti Kak W yang menemukan makna di setiap hal-hal kecil di sekitar kita?. Membuat hati ini hangat dan lebih ingin memaknai hidup sekarang ini (saya terlalu khawatir akan masa depan, hehe). Terima kasih tulisannya Kak W.
hai, yossi. terima kasih sudah singgah. aku pikir kita jalani saja hidup yang sekarang dengan sebaik-baiknya. jika satu hari terkenang, kita bisa mengingatnya dengan senang.
Membaca tulisan ini membuat saya berkali-kali tertegun. Ada banyak hal yang belum saya syukuri dengan baik, saya sering kali melupakannya. Membaca tulisan ini sebenarnya saya juga ikut berkaca, ternyata saya yang kurang peka. Terima kasih, Mbak W.
dengan senang hati. aku juga banyak luputnya. catatan-catatan kecil ini juga buat pengingat agar aku nggak lupa berterima kasih, juga tak abai kepada mereka yang telah bermurah hati.
Emh…tulisan Mbak W. Selalu penuh cahaya… Terima kasih sudah berbagi cerita mbak….
hai, dhesy. terima kasih sudah mampir di mari dan menyimak cerita-cerita kecil di sini.
Hai Mbak W.. Tolong terus menulis ya . Tulisan-tulisan mbak bukan hanya indah tapi bermakna membuat hari-hari sulit terasa riang .
Oh ya, ibu kita punya peraturan yang sama harus menabung untuk membeli sesuatu yang diinginkan.
Salam sayang
hai, ester. terima kasih sudah mampir dan membaca kisah-kisah keseharian yang tercecer ini. salam untuk ibumu.