AKU akan memulai cerita ini dengan sebuah pengakuan: aku adalah seorang mantan pencuri kue sultana.
Karierku sebagai pencuri kubangun sewaktu duduk di sekolah dasar. Semua bermula dari peraturan makan kue yang diberlakukan di rumah oleh Mama dan Mantet—panggilan untuk ama atau nenekku. Tidak banyak hal yang aku ingat tentang Mama. Dari yang tak banyak itu, yang paling membekas adalah kemahirannya membuat kue, terutama sultana dan nastar. Kepandaian mamaku membuat beragam kue, mulai dari kue basah, bolu, tar, sampai kue kering, ini sungguh tersohor. Ke mana pun kami pindah dan tinggal, Mama selalu jadi yang paling jago membuat kue dan kerap dimintai mengajar ibu-ibu lainnya. Sebulan sekali, setiap akhir pekan, garasi, teras rumah, atau dapur ia sulap jadi tempat belajar membuat kue.
Setiap ulang tahun, kue tar kami adalah buatan Mama. Bentuknya macam-macam. Waktu kakakku ulang tahun, ia dapat kue tar bertingkat dengan mawar yang merekah di setiap tingkatnya. Waktu adikku ulang tahun, ia dapat kue tar berbentuk mobil warna merah yang jadi kesukaannya. Waktu aku ulang tahun, gue tarku berbentuk tiga badut. Entah mengapa begitu.

Ketika Idulfitri dan Natal, rumah kami beraroma mentega. Mama akan sibuk di dapur. Dia akan mengambil cuti beberapa hari untuk membuat kue-kue. Aku suka aroma mentega dan paling suka kalau diminta Mama mengocok mentega menggunakan pengocok yang mangkok pengocoknya terbuat dari marmer putih. Aku mulai akan menjauh kalau Mama membuat Kue Delapan Jam. Butuh benar-benar delapan jam untuk memasak kue ini. Dan sungguh, yang bikin aku tak kuat adalah aroma telurnya. Kue Delapan Jam ini kudapan istimewa kesukaan sultan Palembang dan biasanya hanya disajikan di rumah bangsawan atau orang-orang berada. Perkaranya terletak di bahan. Meski hanya menggunakan empat jenis bahan, tetapi semua bahannya tidak murah. Butuh 20 butir telur untuk membuat satu loyang Kue Delapan Jam. Mama suka mengombinasi telur ayam dan telur bebek. Lalu butuh mentega banyak sekali, lalu susu kental manis berkaleng-kaleng, dan gula pasir pilihan. Salah pilih gula pasir, adonan kue akan jadi kasar dan tak lembut. Jika hari Mama membuat Kue Delapan Jam tiba, aku segera menyingkir, bermain di bak pasir—Mama jadi tak akan memintaku membantunya. Kakakku yang akan bersamanya. Mereka tabah menatapi loyang-loyang berisi air dalam oven yang menjadi pengukus selama delapan jam demi mencapai kematangan sempurna. Mama sangat bangga jika warna Kue Delapan Jam-nya cokelat muda dan rata.
Aku tak suka kue itu, tetapi semua orang menyukainya. Mama akan membuat beberapa loyang dan menyajikannya kepada tamu-tamu pilihan. Ia akan mengirisnya sendiri lalu meletakkan di pisin bersama sendok dan garpu kecil. Ada es buah buatannya juga yang sudah ia rendam air kapur berhari-hari sehingga buah-buahnya renyah dan tidak benyek. Mama yang sehari-hari bekerja kantoran dan tak pernah ada di dapur, menjelang lebaran dan Natal akan menjadi ratu dapur. Semua mengikuti petunjuk dan arahannya ketika membuat kue, termasuk Mantet, nenekku yang diakui paling jago memasak.
***
WAKTU kami tinggal di Manado, Mama belajar membuat kue sultana. Ia mengajari istri atasannya membuat kue nastar dan kue tar, sebagai gantinya istri atasannya mengajari Mama membuat kue sultana dan klapertar. Itu lebaran pertama kami di Manado sewaktu Mama mulai membuat kue kering selain nastar, kastengel, putri salju, dan kue kelapa. Meja panjang di dapur kami yang lapang akan dipenuhi putih tepung, telur berbutir-butir, mentega berkaleng-kaleng, kismis berkotak-kotak besar, selai nanas berbaskom-baskom—Mama membuat sendiri selai nanasnya, keju berbalok-balok, dan entah apa lagi.
Mama membuat sultana yang berbeda dengan apa yang diajarkan kepadanya. Sultana Mama seperti kue kering tangkup. Isiannya terbuat dari tumbukan kismis yang dicampur selai nanas, mungkin susu kental, dan sedikit cengkih. Tugasku menusuki kue itu dengan lidi. “Bikin enam atau delapan tusukan saja,” kata Mama. Setelah ditusuk, baru dioles kuning telur lalu dipanggang di oven. Hasilnya? Sultana Mama tampak kuning berkilau, wangi, kaya rasa, dan isinya berlimpah. Kautahu biskuit tangkup dengan krim atau selai di tengah, kan? Anak kecil akan menjilati krimnya dan membuang biskuitnya. Namun, sultana mamaku akan kaulahap sekaligus. Daging kue yang membungkus isiannya mirip nastar, hanya saja lebih padat dan tak repas. Sultana buatan Mama dengan cepat menjadi kue favorit kami, anak-anaknya. Setiap menjelang Idulfitri atau Natal, aku dengan senang hati membantu Mama karena itu artinya aku dapat upah beberapa keping kue kering sebelum ditata dalam setoples yang kelak kami santap pas lebaran atau Natal.

Di meja kami, setidaknya akan ada lima jenis kue kering—nastar, kastengel, putri salju, sultana, dan kue kelapa. Tiap anak hanya akan mendapatkan masing-masing satu setiap hari. Mama dan Mantet menetapkan aturan itu. Kami tak boleh makan kue sebanyak yang kami mau, tak peduli seberapa pun kami suka. Di Manado, Mama tidak lagi membuat Kue Delapan Jam sebagaimana di Palembang, dia menggantinya dengan klapertar yang taburan kismisnya juga berlimpah. Mama bilang buatannya belum seenak mama-mama Manado yang mengajarinya. Itu aku setuju. Klapertar Mama tak sejuara sultananya. Namun, aku tetap saja senang kalau sudah tiba waktunya mengudap sore dan diizinkan makan kue itu dingin-dingin.
***
AKU mulai jadi pencuri sewaktu kami tinggal di Manado hingga pindah ke Blitar. Kebiasaan Mama tidak berubah, ia membuat lima jenis kue kering yang jadi kue khas di rumah kami setiap Idulfitri dan Natal. Aturannya juga masih sama. Anak-anak hanya boleh makan satu keping untuk tiap kue. Artinya kami dijatah lima keping kue. Aku suka mengumpulkan kue-kue jatahku itu di sebuah kotak kaleng yang aku sembunyikan di balik buku-buku atau di loteng.

Aturan makan kue ini hanya berlaku untuk anak-anaknya. Orang dewasa dan tamu tidak dijatah. Mereka boleh makan sebanyak yang mereka mau. Mama menyimpan stoples-stoples kuenya di lemari kaca yang tinggi sekali. Aku butuh menarik kursi jika ingin mengambilnya dan tentu saja ini bisa ketahuan. Sementara di meja, Mama hanya meletakkan lima stoples besar yang kalau isinya berkurang, ia akan mengisinya lagi. Aku pun mulai mengamati. Mama akan sibuk menyajikan ini-itu di dapur bersama Mantet. Ia akan duduk di ruang tamu dan mengobrol kalau semua sudah terhidang lalu sibuk menggiring orang ke ruang makan untuk menikmati sajian berat. Anak-anak biasanya bermain di teras atau taman, dan akan dipanggil orangtuanya untuk turut menyantap hidangan dan minum es buah.
Ketika orang-orang sudah bergerak ke ruang makan, aku akan beraksi. Aku hanya mengincar stoples sultana, yang celakanya memang paling cepat habis. Mama dan Mantet tentu tak akan curiga kalau stoples itu tampak kosong saban kedatangan tamu. Semua orang memuji kue-kue buatan Mama dan mereka boleh makan berapa pun yang dimau. Kadang anak-anak kecil suka merengek yang berujung Mama akan membungkusi mereka kue-kue itu. Setiap kali beraksi aku akan mengambil setidaknya tiga keping sultana lalu pelan-pelan menyimpannya di kantong baju agar tidak hancur, setelah lebih dulu membungkusnya dengan tisu.
Selagi orang-orang sibuk makan—kami anak-anak dilarang menonton orang dewasa makan karena dianggap tidak sopan, aku buru-buru mengendap untuk menyimpan sultana hasil curianku di kotak kaleng bersama kue-kue hasil jarahan sebelumnya. Kotak kaleng itu aku sembunyikan di sudut rahasia yang tak diketahui siapa pun. Di Manado, aku menyimpannya di balik buku-buku yang ada di ambalan tertinggi rak. Di Blitar, aku menyembunyikannya di loteng, di bawah kanopi atap. Dibutuhkan kemahiran memanjat untuk menjangkaunya, kakak dan adikku tak akan bisa. Sangat berbahaya jika keduanya tahu. Mereka dekat dengan Mama dan tidak jago berkilah. Sudah pasti mereka akan memberi tahu Mama dan aku bakal dihukum.
saya kali pertama tau ada jenis kue bernama sultana dari kak w looh, terima kasih telah menulis dgn indah kak.
sultana kue dari eropa. bentukannya macam-macam. cara mengolahnya juuga macam-macam. bisa jadi kayak kue kering, bisa jadi kayak biskuit kering. he-he.
Sultana ini sebutan untuk jenis kismis tertentu kalau di Jerman, sepertinya dipopulerkan orang2 Turki.
Aduh, baca tulisan kak W bikin inget masa2 kecil sering disuruh bantuin ibu bikin kue lebaran. Malesnya minta ampun karena bikinnya lamaaa, tapi abisnya cepet. Dan penasaran banget kue Sultana bikinan mama kak W. Ngebayangin kismis dicampur selai nanas dengan aroma cengkeh… hmmmm… semoga suatu saat nanti kue Sultana bisa muncul lagi di kehidupan kak W. Kalau boleh saya mau ikutan ngicip
Berasa baca cerpen di majalah Bobo. Ngangenin..
terima kasih sudah mampir dan bantu bersih-bersih sarang laba-laba di blog ini.
Baca blog ini seperti makan nastar dan teh hangat tawar, tak mau brenti..
Udah lama banget ga baca cerpen” gini, thank you Kak
hai, terima kasih. sayangnya, ini bukan cerpen. he-he.
Kesini krn klik link Dari IG story nya Lexy ..Dan ga nyesal sama sekali…terimakasih untuk cerita nya yg sederhana tp sangat2 indah. Aku sangat bisa ngebayangin kondisi dapur mama nya Mba Windy, karena itupun terjadi di dapur mama ku dulu, waktu aku SD-SMP Terimakasih untuk ceritanya Dan sedikit nostalgia nya ♥️
Ya Ampun.. baca tulisan ini kaya berasa mengenang masa kecilku. Hahaha. Suka banget sama tulisannya.. ringan.. tapi bikin terus ingin baca sampe akhir. Terimakasih mba Windy, tulisanmu menemani hari idul fitriku
kue sultana!
klo tusukan lidi ke kue sultana buatan mama selalu 9, lebih presisi katanya
isian kue sultana bikinan mama campuran susu kental manis, kismis dan sedikit cengkeh, yang klo tidak segera disimpan, bisa-bisa tidak sampai hari raya, karena saya dan kakak sulit berhenti mengunyah kue ini akhirnya kami jadi berharap ada yang gosong, soalnya klo gosong pasti tidak lolos syarat untuk menjadi sajian hari raya
terima kasih sudah menuliskan tentang kue sultana, kak W. saya jadi mengenang masa-masa menyenangkan ketika salah satu perihal hari raya adalah beberapa toples kue kering buatan mama di ruang tamu rumah
selamat hari raya, kak W!
aku suka banget , ringan dan menyenangkan awal membaca dan ikut merasakan sedih di akhir cerita, terima kasih kak W ❤️
Terima kasih sudah menuliskannya, Kak W. Aku seperti dibawa kembali ke masa kecil, ke dapur mama yang selalu penuh bahan-bahan kue setiap lebaran. Banyak hal yang diceritakan mirip, mungkin karena aku juga selalu berpindah-pindah mengikuti ke mana Papa ditugaskan dan Mama yang selalu punya keahlian tambahan membuat kue-kue lokal di mana kami tinggal.
Oh ya Kak W, sebagai orang Palembang, Kue Delapan Jam itu kue kebanggaan Mama yang tiap lebaran tidak pernah absen dari meja saji dan menjadi favorit semua anak-anaknya. Baru tahun ini Mama tidak membuatnya karena faktor usia dan aku belum mampu menduplikasi keahlian beliau soal ini hihihi.
Terima kasih tulisan bagusnya, ku jadi kangen juga sama Sultana buatan mama ku,. Hiks
Ceritanya ringaann bangeett mbak, lumayan utk mencharge mood aku yg lagi down dalam hal membaca
Ya ampun! Sultana? Bikin? Aku mau mendaftar jadi tetanggamu, kakak Windy 🙂
kalau sekarang kau jadi tetanggaku, ya tentu sudah tidak ada sultana lagi di rumah saban lebaran, mbak frisca. he-he.