sampai waktu habis

Aku bisa menebak apa yang terjadi. Sejak awal aku tahu duduk perkara kawanku, mendapatinya sekarang tersedu sedan di kamar adalah salah satu hal yang sesungguhnya tak aku harapkan terjadi. Papa dan kakakku pun tak banyak bicara. Namun, di meja makan selalu terhidang makanan-makanan yang baik untuk pemulihan kondisi kawanku. Papa selalu mengingatkan kawanku untuk makan, kakakku selalu menyiapkan obat yang menurutnya baik untuk penambah darah. Adikku berjaga kalau perlu sewaktu-waktu mengantar kawanku ke rumah sakit, bahkan ia menawariku tidur di kamarnya agar bisa memberi ruang sendiri untuk kawanku.

Aku selalu menyukai keluargaku yang begini, yang menjadikan cinta sebagai kata kerja aktif dan tidak buang-buang omong.

Satu sore, orangtua kawanku datang ke rumah mencari anaknya. Kawanku menolak keluar dari kamar dan menemuinya. Papa yang menjumpai ayah kawanku. Aku tak tahu apa yang dibicarakan oleh kedua lelaki ini di teras. Namun, aku bisa melihat wajah keras ayah kawanku melunak, ia mengetuk pintu kamarku dengan pelan. Kawanku tetap tidak mau keluar. Papa memanggil kawanku. Bertanya apakah ia boleh masuk ke kamar. Kawanku membuka sedikit pintu kamar sehingga Papa bisa masuk. Mereka berbicara. Tak lama, kawanku ke luar, menemui ayahnya, lalu pamit pulang bersama.

‘Jangan ragu ke rumah ini,’ katanya kepada kawanku dan ayahnya. Kakakku menyurukkan obat-obatan ke tangan kawanku disertai pesan agar jangan lupa terus meminumnya sampai habis.

Sebelum pulang ke Kendari, tempatnya bertugas, Papa memanggilku. Dia bilang ada yang ingin dibicarakan. Aku duduk di kursi ruang makan dengan sepasang tangan tertangkup dan terasa dingin. Aku khawatir dia murka dengan apa yang terjadi. ‘Papa,’ katanya membuka obrolan, ‘tak setiap saat bersama anak-anak Papa.’

Aku merasa obrolan kami bakal sangat serius. Seserius ketika aku menyatakan kepadanya bahwa aku tidak apa-apa jika dia punya pacar ataupun kelak menikah lagi. Dia tak perlu khawatir karena aku akan bisa memahaminya. Papa duduk di depanku. Dia bilang dia hanya minta semisal satu hari aku hamil sebelum menikah, aku tak perlu bersembunyi atau lari darinya. ‘Jangan cari orang lain, pulang ke Papa, Papa akan selalu bisa menerima seperti apa pun kondisimu saat itu.’

Satu kalimat itu jadi batas yang meluaskan. Ia membebaskanku, tetapi meminta aku bertanggung jawab atas semua tindakan yang kuambil.

Pulang ke tempat yang paling bisa menerimamu apa adanya, seperti apa pun kondisimu.

Hari lain, adikku membawa pacarnya ke rumah. Perempuan itu kawan satu kampusnya; manis, sopan, dan mudah sekali akrab. Kami berkumpul di ruang keluarga sambil makan ini-itu dan mengobrol. Satu keterampilan Papa yang suka bikin aku iri adalah kemampuannya menyamankan siapa saja, sekalipun pertama bertemu. Ia supel dan selalu punya bahan obrolan untuk dipercakapkan tanpa canggung.

Aku sedang duduk di depan TV ketika adikku melintas dan Papa memanggilnya. ‘Sudah kauantar pacarmu pulang?’

Adikku mengangguk.

‘Diingat, anak perempuan itu kehormatan keluarga. Laki-laki harus menjagakan itu.’

Aku tak pernah mendengar Papa membicarakan hal semacam ini sejak percakapan kami waktu itu. Aku melirik ke adikku, ia mengangguk. ‘Kalau dia mau menginap, menginaplah di rumah ini. Jangan pernah kauinapkan dia di luar rumah ini.

Adikku mengangguk lagi. Papa kembali membaca buku.

Kami dulu diragukan akan bisa tumbuh sebagai anak baik tanpa pendampingan orang dewasa. Papa yang orangtua tunggal dianggap akan kerepotan mengurusi tiga anaknya. Kami menguping percakapan orang dewasa yang memutuskan siapa akan ikut siapa agar bisa tumbuh jadi anak ‘baik’. Di kamar, kakakku, aku, dan adikku saling tatap. Kami memutuskan tidak mau ikut siapa pun. Kami bisa sendiri. Aku ditunjuk jadi juru bicara.

Papa memanggil kami. Memberi tahu usulan dari keluarga besar tentang apa yang baik bagi kami, anak-anak kecil tanpa ibu, yang ayahnya tugas berpindah-pindah. ‘Kami,’ sahutku waktu itu, ‘rasa-rasanya bisa mengurus diri sendiri, Pa.’ Semua mata tertuju kepadaku. Adikku memegang tanganku erat-erat. Kakakku berdiri di sebelahku.

Tentu saja, banyak orang dewasa meragukan kami. Anak-anak kecil tanpa orang dewasa akan jadi apa? Bagaimana kalau ada apa-apa di sekolah? Bagaimana kalau kami sakit? Bagaimana pergaulan kami? Dan masih banyak lagi bagaimana. Namun, kami percaya diri sekali waktu itu. Kami menantang orang-orang dewasa yang merasa tahu yang terbaik untuk kami. ‘Aku rasa anak-anakku bisa sendiri. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan.’ Suara Papa menjadi palu penentu.

Rapat keluarga bubar. Dan begitulah, kakakku, aku, dan adikku memilih mengurus diri sendiri daripada ikut orang-orang dewasa lain. Papa mencatatkan semua nomor telepon penting, mengajari kami kelola keuangan sederhana, memastikan semua rekening tabungan atas nama kami aktif, dan satu aturan dalam keluarga ini: bertanggung jawablah. ‘Bantu Papa menjadi orang tua,’ begitu katanya.

Waktu adikku masuk SMA, aku mengajak dia nongkrong di loteng rumah. Aku saat itu baru masuk kuliah. Aku beri dia rokok. ‘Cobain.’ Adikku mencoba dan terbatuk-batuk. ‘Suka?’ Ia menggeleng. ‘Kalau kau mau merokok, jangan minta sama orang lain. Beli sendiri atau minta sama aku,’ kataku. ‘Kenapa merokok harus di atap, sih?’ tanyanya.

‘Karena aturan dari Papa: jangan merokok dalam rumah.’

Kali lain, di kamarku, aku mengajari adikku minum sesuatu yang beralkohol. Aku tidak mau dia mabuk sembarangan dengan orang lain. ‘Cobain ini.’

‘Di mana enaknya?’ Muka adikku memerah. Ia sudah mencobai 2 sloki kecil. Sloki itu hadiah dari seorang kawanku di Amerika Serikat, sewaktu aku akan pulang ke Indonesia. Adikku meracau terus lalu tumbang sampai esok hari. Dia bangun dengan kepala pengar dan aku menertawainya. ‘Ingat-ingat. Kalau kau pengin minum dan mabuk, cari aku. Aku temani.’

Sampai hari ini adikku tidak pernah mencariku untuk minta rokok ataupun mengajak minum dan mabuk. Aku bisa bilang dia tumbuh jadi laki-laki yang tidak berengsek dan bertanggung jawab. 

***

windy ariestanty

Author: windy ariestanty

a writer who loves traveling and falling in love with places she hasn't visited and people she hasn't met yet. she thinks that she is the wind.

34 thoughts on “sampai waktu habis”

  1. Bagus sekali kak Windy. Almarhum bapakku sudah meninggal 20 tahun lalu. Tapi sebulan kemarin entah kenapa aku rindu pada bapakku. Mungkin karena aku sedang mengandung dan anakku tidak akan melihat eyang kakungnya. Tanggal 14 September 2023, ibu mertua meninggal. Aku tinggal di rumah mertua. Aku melihat bagaimana suamiku mengadzani ibu mertua di liang lahat. Benar – benar sedih. Insya Allah, aku bisa kuat dalam kehamilanku dan persalinanku Desember nanti.

    1. Mbak dewi, terima kasih sudah mau membaca cerita yang agak panjang ini. aku turut berduka cinta untuk kehilangan yang tengah dirasakan oleh keluargamu. aku berharap kehamilan dan persalinanmu lancar. ambil waktu sebanyak-banyaknya, pelan-pelan saja. kita berhak bersedih, sebagaimana kita berhak menjalani hari dengan sebaik-baiknya meski tidak sedang baik-baik.

  2. Om Tris memang orang baik, sudah seperti bapak sendiri, masih teringat obrolan obrolan kecil sewaktu main ke rumah. 1000 hari Om Tris hampir bersamaan dengan 1000 hari bapak , semoga beliau selalu mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT ..big hug t’nday

    1. hai, nita! terima kasih, ya, saban main ke rumah selalu menyempatkan ngobrol sama papa. kami berharap bapak mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT. peluk jauh dari kami semua, anak-anak papa.

    1. Sebuah cerita yg ringan, indah dan hangat.
      Om Tris sosok yg sekeren itu yaa.. Kak W pasti bangga & bahagia memiliki Om Tris yaa.. Ku jadi ter inspirasi sosok Om Tris.
      Terima kasih Kak W sudah berbagi cerita ini. Sehat & bahagia selalu yaa..

  3. Hai, Kak W. Terima kasih ya sudah mau berbagi. Ayah saya juga sudah pergi duluan 13 tahun yang lalu. Baca ini, tentu saja bikin kran air mata bocor dan ingat Ayah Selalu suka cara Kak W merangkai kata, menjalani dan memaknai hidup. Semoga Kak W selalu sehat, dimudahkan-dilancarkan segala urusan-perjalanan, dan tetap bisa berbagi lewat tulisan-tulisan

  4. Baru pertama X buka n baca blog ini. Wawwww, u r soooooo blessed punya Pa2 yg amat sangat bijak. Dunia perlu lebih banyak ayah yg spt beliau.

  5. Ceritanya sangat bikin iri, kak W.
    Aku iri karena kak W punya ayah dengan cara berpikir yang terbuka dan luas sekali, yang tidak dipunyai ayahku. Pasti bangga dan senang sekali ya jadi anaknya beliau. Doaku, semoga kak W selalu bisa ‘menyala’ dan memberi ‘rasa’ seperti almarhum ya!

    Sehat selalu, kak. Dan semoga bisa bertemu lagi di patjarmerah kelilingnya! Dan, terima kasih karena sudah menulis dan membagikan ceritamu, kak.

  6. Tulisan yang sangat indah. Kesejukan dari cerita ini terasa sekali. Terimakasih sudah berbagi kehangatan dari tulisan mu, Kak W

  7. hi kak Windy..
    Indah sekali tulisanmu tentang kakak beradik dan bagaimana Papa-mu berhasil menjadi orang tua.
    Semoga aku dan suami bisa menjadi orang tua seperti Papa-mu, dengan cara kami.
    Terima kasih ceritanya

  8. ceritanya hangat sekali, kak w jujir aku berharap bisa baca cerita tentang kehangatan keluarga dan tokoh “papa” di cerita ini versi lebiiih panjang. adakah kemungkinan skan bikin full version berbentuk buku kak? kalau iya, aku gak sabar banget buat baca dsn meminang bukunya!

  9. Keren banget sosok Papanya. Merinding bacanya. Hal yg paling aku inginkan, menjadi orang tua yg jadi tempat anak-anak selalu kembali. Terimakasih sudah sharing cerita ini. No wonder Mba W keren.

  10. Mba W terima kasih untuk kisah yang menghangatkan hati dan penuh dengan makna, ketika saya baca saya sangat merasakan sosok Ayah walaupun tidak pernah berjumpa. Dan memberikan pandangan lebih luas terkait hubungan romantisme suami-istri untuk ‘menua bersama’.

  11. Selalu menyenangkan membaca tulisan Windy.
    Ada makna terdalam yang terbungkus nilai moral tentang hidup dan realita.

    Terima kasih telah berbagi cerita.
    Semoga Papa selalu senantiasa menjaga anak-anaknya untuk tetap berbuat baik.

  12. Indah banget.. Terasa tenang ya runutan nya… Mengalir damai. How lucky you are punya papa yg luar biasa… Papa pasti bahagia di kenang sedemikian indah oleh anaknya.

  13. Terima kasih sudah menulis sehangat ini. Saya baru 1 tahun belajar jadi orang tua. Tiba2 saya merasa kenal dengan Om Tris. Rest in love om. Semangat menulis juga ya ^^

  14. seandainya papaku bisa sperti papa km mbak wind… seandainya dia bisa bersikap sperti seorg ayah tpi begitulah manusia, mgkin jika papa tak mengabaikan aku smpai saat ini aku mgkin tak bisa mencapai kehidupanku yg bahagia dg anak2ku… cucu2 yg dia abaikan… doaku semoga beliau panjang umur sehat selalu

  15. Kak W, terima kasih untuk ceritanya-ceritanya ya. Tidak terasa sudah 1000 hari papa Kak W sudah berpulang. Di hari ketika membaca “mencintai sampai mati”, aku sebagai pembaca ikut patah hati. Selang setahun kemudian seminggu setelah papa berpulang “dua puluh empat desember” buatku pribadi jadi bacaan yang membuat hati terasa campur aduk. Hari ini membaca “sampai waktu habis” muncul di saat rindu dengan papa yang seminggu lagi adalah hari lahirnya. Sekali lagi terima kasih ya, Kak W.

  16. Kak W, terima kasih untuk ceritanya-ceritanya ya. Tidak terasa sudah 1000 hari papa Kak W sudah berpulang. Di hari ketika membaca “mencintai sampai mati”, aku sebagai pembaca ikut patah hati. Selang setahun kemudian seminggu setelah papa berpulang “dua puluh empat desember” buatku pribadi menjadi bacaan yang membuat hati terasa sangat campur aduk. Hari ini membaca “sampai waktu habis” muncul di saat rindu dengan papa yang seminggu lagi merupakan hari lahirnya. Sekali lagi terima kasih ya, Kak W.

  17. I miss my dad so much after read this. Kak win semoga papa kita berteman d surga sana jadi mereka bisa saling cerita tentang kita anak-anak mereka yang bertumbuh menjadi pribadi luar biasa karena hidup dari nasihat2 yang juga d berikan dr laki2 luar biasa. Desember nanti tepat 10 tahun papa ku berpulang dan aku berencana menuliskan cerita tentang nya se indah dirimu menuliskan cerita seindah ini ttg papa mu. Kiss kiss for u kak win….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *