sampai waktu habis

‘KATANYA kalau bersuamikan orang Jawa itu, suwargo nunut, neraka katut, ya?’ Reda Gaudiamo menirukan pertanyaan Emak yang ditujukan kepada lelaki yang ia pacari ketika itu.

Bukan bersedia menua bersama, melainkan yang tahu cara saling berkembang dan merawat perkembangan itu sampai waktu kita habis.

Aku yang sedang menyetir tidak bisa tidak tergelak mendengar itu. ‘Terus si Mak masih bilang begini lagi, “Saya nggak mau, ya, anak saya kebawa-bawa ke neraka.”’ Tawa kami pecah bersamaan. Emak, ibunya Reda, ini sungguh tak tertebak. Aku tertawa-tawa saban mendengar cerita Reda soal bagaimana Emak, perempuan Savu, menyikapi hubungan romantisnya dengan laki-laki Jawa. Mulutnya blak-blakan, tetapi banyak benarnya. Coba, kenapa pula urusan surga-neraka untuk kaum perempuan ditentukan oleh tindakan laki-laki?

‘Terus pacarmu saat itu jawab apa, Mbak?’ tanyaku penasaran.

‘Iya, saya akan berupaya agar Reda tidak masuk neraka.’

Tawa kami kembali pecah, memenuhi ruang mobil.

Continue reading “sampai waktu habis”

pencuri sultana

AKU akan memulai cerita ini dengan sebuah pengakuan: aku adalah seorang mantan pencuri kue sultana.

Karierku sebagai pencuri kubangun sewaktu duduk di sekolah dasar. Semua bermula dari peraturan makan kue yang diberlakukan di rumah oleh Mama dan Mantet—panggilan untuk ama atau nenekku. Tidak banyak hal yang aku ingat tentang Mama. Dari yang tak banyak itu, yang paling membekas adalah kemahirannya membuat kue, terutama sultana dan nastar. Kepandaian mamaku membuat beragam kue, mulai dari kue basah, bolu, tar, sampai kue kering, ini sungguh tersohor. Ke mana pun kami pindah dan tinggal, Mama selalu jadi yang paling jago membuat kue dan kerap dimintai mengajar ibu-ibu lainnya. Sebulan sekali, setiap akhir pekan, garasi, teras rumah, atau dapur ia sulap jadi tempat belajar membuat kue.

Setiap ulang tahun, kue tar kami adalah buatan Mama. Bentuknya macam-macam. Waktu kakakku ulang tahun, ia dapat kue tar bertingkat dengan mawar yang merekah di setiap tingkatnya. Waktu adikku ulang tahun, ia dapat kue tar berbentuk mobil warna merah yang jadi kesukaannya. Waktu aku ulang tahun, gue tarku berbentuk tiga badut. Entah mengapa  begitu.

Kue tar buatan Mama untuk ulang tahun kami.
Continue reading “pencuri sultana”

sepatu dan mbah tar

Saban keluar dari gerbang sekolah, ada satu lelaki yang selalu kucari. Namanya Mbah Tar, tukang becak sebelah rumah di Blitar yang bertugas mengantar dan menjemputku.

Becak Mbah Tar tergolong becak jadul pada masanya. Besar, gendut, dan berat. Berbeda dengan becak-becak baru yang rata-rata dimiliki tukang becak lainnya; lebih kecil, lebih ramping, dan lebih ringan. Tudung becak milik Mbah Tar melengkung setengah lingkaran—mirip tudung kereta kuda di buku-buku dongeng kerajaan, sedang yang lain lurus lalu merendah di depan. Bagian depan becak Mbah Tar, tempat pijakan kakinya, mencuat. Mantet (panggilan untuk nenekku yang Cina) selalu mengingatkan agar aku duduk rapi dengan kaki rapat dan tidak mengangkang supaya celana dalam tak terlihat. Tangan harus aku letakkan di pangkuan agar rok tidak tersibak angin. Banyak betul aturan naik becak ini.

Waktu kecil, saban Mbah Tar mengayuh becak, aku selalu menoleh ke belakang. Aku bilang kalau kakiku sudah lebih panjang, aku akan bisa menggantikannya mengayuh becak. Dia sering terkekeh dan bilang kalau kakiku sudah lebih panjang itu artinya tugas dia antar-jemput selesai. Aku pasti akan punya sepeda atau sepeda motor, tidak lagi naik becak. ‘Terus Mbah Tar nanti gimana?’

Continue reading “sepatu dan mbah tar”

dua puluh empat desember

Aku menyatakan cintaku dengan terang-terangan kepada seorang lelaki pada 24 Desember 2020. Itu satu malam penting dan satu tindakan yang melegakanku hingga hari ini.

‘Aku sangat mencintaimu, Pa.’ Aku tak pernah merencanakan mengatakan itu kepadanya. Aku pikir tanpa perlu diucap, dia tahu. Sebagaimana aku tahu dia juga pasti mencintai kami semua anaknya. Tanpa syarat, tanpa batas.

Namun, menyatakan terang-terangan terasa penting malam itu. Aku ingin dia tahu anak perempuannya yang satu ini—yang selalu memberontak, yang pulang hanya ketika diminta pulang, yang selalu melakukan hal-hal yang dimaui saja—mencintainya. Juga tanpa syarat dan tanpa batas.

Continue reading “dua puluh empat desember”

mencintai sampai mati

Ini tentang dia, cinta mati saya. Lelaki yang memiliki kebesaran hati seluas samudra, yang mencintai tanpa harap kembali.

PAPA saya (ingin) percaya bahwa pandemi virus corona akan berakhir April ini sehingga ia bisa mewujudkan perjalanan impiannya; kembali mengarungi samudra dengan menumpang kapal PELNI menuju Gorontalo. Ia menghabiskan sebagian besar masa baktinya sebagai jaksa di Sulawesi—bahkan menjadi jaksa masuk laut yang ditugaskan ke pulau-pulau terluar Nusantara, salah satunya di utara Indonesia—dan ingin melakukan pelayaran napak tilas.

Ia meminta saya mengatur perjalanan impiannya itu dan memastikan saya menemaninya. Ia ingin mengajak dua orang lain yang sangat bersetia kepadanya; pasangan suami-istri yang mengurusinya selama ini, Pak Bas dan Bu Atin. Saya mengecek jadwal transportasi, mengusulkan perjalanan dengan kapal laut ketika pergi dan kapal udara ketika pulang. ‘Itu menarik,’ ia menyetujui usulan saya.

‘Tapi, Papa harus sembuh dulu. Harus kuat. Kita tak bisa melakukan perjalanan ini kalau Papa masih lemah.’

‘Iya. Papa mau hidup hingga lebih dari 85 tahun.’

15 Januari 2021, kurang delapan tahun dari angka impian Papa, jiwanya terpisah dari hayat.

Cinta sampai mati. Pusara Papa-Mama. Mereka bertemu lagi dalam satu liang.
Continue reading “mencintai sampai mati”

di suatu tempat bernama sawenduy [1]

Yang terbaik biasanya selalu kita simpan untuk diri sendiri. Namun, di sebelah utara Teluk Cendrawasih, di Kampung Sawenduy, Distrik Raimbawi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, penduduknya mengajari saya memberikan yang terbaik untuk orang lain.

Berpekarangan laut. Anak-anak kecil di Kampung Sawenduy, Kepulauan Yapen, Papua bermain di pekarangan rumah mereka; laut.

OMBAK dan angin sedang besar. Laut yang biasanya murah hati mengaitkan ikan pada kail Apsalom Korano dan Raymond tidak berlaku sama hari ini. Sampai kapal yang kami tumpangi hendak merapat di bibir pantai yang berada di sisi lain kampung pemekaran Sawenduy, tak seekor ikan pun berhasil didapat.

‘Tak ada ikan, Nak,’ kata Apsalom kepada saya yang duduk di sebelahnya. Saya mengamati kail Apsalom yang hanya berupa seutas benang pancing dengan umpan bohongan terbuat dari tanaman tepi pantai yang dibentuk mirip ikan kecil. Biasanya hanya dengan itu semua ia bisa mendapatkan ikan untuk makan satu penghuni mes Saireri Paradise Foundation (SPF).

Beberapa kawan dari SPF melompat ke laut. Di pulau ini, bila kapal hendak merapat, beberapa awak kapal harus mendorongnya ke bibir pantai sambil menghitung ombak. Kalau salah mengambil ombak, kapal kesulitan merapat, yang ada malah terempas-empas.

Continue reading “di suatu tempat bernama sawenduy [1]”

menghidupkan karakter dalam tulisan perjalanan naratif

Di lorong-lorong kota tua Cusco, suku-suku asli Pegunungan Andes mudah ditemui.
Di lorong-lorong kota tua Cusco, Peru, suku-suku asli Pegunungan Andes mudah ditemui.

Menjadikan orang yang ditemui di perjalanan sebagai tokoh utama adalah salah satu teknik kreatif dalam sebuah tulisan perjalanan naratif.

PADA hakikatnya, tulisan perjalanan selalu merupakan perkara manusia-manusia yang bersikap melewati waktu. Dan, ‘Naratif,’ kata Mark Kramer, ‘adalah soal manusia-manusia bersikap melewati waktu itu.’

Cerita tentang Tuan Ibrahim begitu membekas di ingatan saya. Lelaki pengusaha itu sangat menyukai budaya Barat—dalam hal ini Amerika Serikat. Ia mengendarai Mercedes, suka berkemeja kotak-kotak dan mengenakan celana jins biru, bangga dengan fakta bahwa Beirut memiliki dua Hard Rock Café, dan beranggapan bahasa Inggrisnya beraksen Amerika.

Saya mengenal Tuan Ibrahim dari tulisan Rolf Potts berjudul ‘My Beirut Hostage Crisis’ yang dimuat di The Kindness of Strangers, sebuah kompilasi tulisan nonfiksi perjalanan naratif yang dieditori oleh Don George. Buku terbitan Lonely Planet yang menceritakan kebaikan-kebaikan dari orang yang tak kita kenal selama perjalanan ini mendapatkan pengantar dari Dalai Lama. Hanny Kusumawati, rekan saya di @jktonfoot dan @writingtable, meminta saya membaca kisah Potts di Beirut. ‘Tuan Ibrahim-nya lucu, W,’ kata Hanny sambil menyodorkan buku itu.

Dan benar saja. Tuan Ibrahim memang lucu sekaligus bintang utama dalam tulisan tersebut.

Continue reading “menghidupkan karakter dalam tulisan perjalanan naratif”

mengapa menulis kisah perjalanan?

Titicaca adalah danau besar di wilayah pegunungan Andes yang berada di perbatasan Bolivia dan Peru, sering disebut "highest navigable lake" di dunia.
Titicaca adalah danau besar di wilayah pegunungan Andes yang berada di perbatasan Bolivia dan Peru, sering disebut “highest navigable lake” di dunia.

Tulisan perjalanan yang baik adalah tulisan yang membawa pembaca turut serta, merasakan, dan dengan sendirinya menjelma teman perjalanan yang baik bagi pembacanya.

PADA awal-awal saya belajar menulis kisah perjalanan, saya pernah bertanya kepada seorang penulis perjalanan yang karyanya kerap dimuat di media-media.

‘Apa hal paling penting ketika membuat tulisan perjalanan?’ Ia menjawab, ‘Tulisanmu harus bikin pembaca ingin pergi ke tempat tersebut.’

Saya tercekat. Itu pekerjaan berat. Saya pun bertanya mengapa.

‘Karena kita sedang menuliskan tempat. Ini berbeda dengan menulis novel atau cerita,’ sahutnya.

Saya tak lagi bertanya karena kepala saya keburu dipadati banyak pikiran tentang bagaimana membuat orang ingin pergi ke tempat yang saya ceritakan.

Berbulan-bulan lamanya saya bergumul dengan beragam tulisan perjalanan. Mencoba menemukan tulisan bagaimana yang membuat saya sampai ingin pergi ke suatu tempat. Nihil.

Saya menemukan kenyataan, bukan tulisan-tulisan itu yang membuat saya ingin pergi, melainkan foto-foto yang terpampang.

Sampai suatu ketika saya secara tidak sengaja membaca tulisan berjudul Travels in Georgia karya John McPhee.

Continue reading “mengapa menulis kisah perjalanan?”

Aroma Karsa: Menyunting Kehendak

Sebuah beasiswa kelas penyuntingan tanpa mengajukan surat aplikasi.
Aroma Karsa Digital: Sebuah beasiswa kelas penyuntingan tanpa mengajukan surat aplikasi.

Tak ada yang mengenal sebuah cerita sebaik sang penulisnya. Editor memastikan kehendak si penulis tercapai dengan cara yang masuk akal.

 PENULIS yang mengenal baik tulisannya memiliki karsa—kehendak. Dan celakanya, kadang-kadang, kehendak ini yang membuat proses penyuntingan tulisannya mengalami ganjalan atau tidak mengalir mulus.

Sebuah Beasiswa

KETIKA menerima pesan dari Dewi Dee Lestari melalui aplikasi whatsapp soal permintaannya agar saya mau menyunting Aroma Karsa, saya tercenung beberapa saat. Bukan karena ini permintaan yang tiba-tiba, melainkan karena saya mempertimbangkan beberapa hal. Selain Dewi Dee Lestari sudah lama saya kenal secara personal, saya kerap menerima curhat kanan-kiri para editor yang menangani penulis-penulis yang memiliki nama besar—apalagi juga laris manis di pasaran. Betapa komunikasi dengan penulis-penulis ini bisa sangat menantang. Masukan dari editor soal bolong-bolong di naskah atau kalimat-kalimat dan logika-logika yang tak bekerja seringkali dianggap sebagai tindakan ‘menghancurkan’ naskah. Atau, ini yang sering bikin saya ketawa geli sendiri, menghilangkan ciri khas penulis. Saya juga menghindari menangani penulis yang memperlakukan editor sebagai tukang cek salah ketik atau PUEBI saja. Saya sejujurnya malas menghadapi ‘medan tempur’ yang tak perlu itu.

Pertimbangan utama lainnya adalah saya juga pembaca karya-karya Dewi Dee Lestari.

Continue reading “Aroma Karsa: Menyunting Kehendak”

shandong: tentang orang terbijak, tempat tersuci, dan seni bertanya (2)

kota tua weifang
kota tua weifang, ibukota layang-layang dunia.

Melayangkan Cerita, Melambungkan Budaya

Shandong bukan hanya tentang Konfusius dan daftar warisan dunia UNESCO. Shandong juga tentang upaya-upaya panjang merawat kebudayaan tua terus hidup tanpa tergerus zaman, di antaranya layang-layang dan kertas tahun baru di Weifang.

Ketika memasuki The Kite Museum di Weifang, ingatan saya berlari menuju ke sebuah pulau tua di Sulawesi Tenggara, Pulau Muna. Sejarah soal layang-layang berubah akibat ditemukannya lukisan cadas berusia lebih dari 4000 tahun di salah satu dinding gua di Muna yang menggambarkan aktivitas menerbangkan layang-layang. Layang-layang tertua di dunia ternyata tidak terbuat dari kertas dan tidak berasal dari Tiongkok, melainkan dari Pulau Muna, Indonesia dan terbuat dari daun kolope.

Continue reading “shandong: tentang orang terbijak, tempat tersuci, dan seni bertanya (2)”