Yang terbaik biasanya selalu kita simpan untuk diri sendiri. Namun, di sebelah utara Teluk Cendrawasih, di Kampung Sawenduy, Distrik Raimbawi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, penduduknya mengajari saya memberikan yang terbaik untuk orang lain.

OMBAK dan angin sedang besar. Laut yang biasanya murah hati mengaitkan ikan pada kail Apsalom Korano dan Raymond tidak berlaku sama hari ini. Sampai kapal yang kami tumpangi hendak merapat di bibir pantai yang berada di sisi lain kampung pemekaran Sawenduy, tak seekor ikan pun berhasil didapat.
‘Tak ada ikan, Nak,’ kata Apsalom kepada saya yang duduk di sebelahnya. Saya mengamati kail Apsalom yang hanya berupa seutas benang pancing dengan umpan bohongan terbuat dari tanaman tepi pantai yang dibentuk mirip ikan kecil. Biasanya hanya dengan itu semua ia bisa mendapatkan ikan untuk makan satu penghuni mes Saireri Paradise Foundation (SPF).
Beberapa kawan dari SPF melompat ke laut. Di pulau ini, bila kapal hendak merapat, beberapa awak kapal harus mendorongnya ke bibir pantai sambil menghitung ombak. Kalau salah mengambil ombak, kapal kesulitan merapat, yang ada malah terempas-empas.
Continue reading “di suatu tempat bernama sawenduy [1]”