
Hadiah paling manis yang pernah saya terima sewaktu kecil dari Papa adalah sepetak tanah di halaman samping rumah kami di Manado.
Ini bukan sepetak tanah layaknya kavling perumahan atau juga seukuran petak sawah. Bukan. Ini hanya sebuah lahan kosong yang memanjang di samping rumah, yang diberikan Papa kepada saya dan boleh saya tanami apa saja.
‘Kamu boleh menanam apa pun yang kamu mau di sini. Petak tanah di samping rumah ini, punya kamu,’ kata Papa. ‘Dan jangan memetik apa pun sembarangan dari tanaman yang lain,’ pesannya.
Saya mengangguk, menatap tanah kosong yang memanjang dekat pintu dapur dengan takjub. Ini lahan saya.
Papa saya memang senang menanam. Pekarangan rumah selalu rimbun dan penuh dengan tanaman rupa-rupa. Mulai dari pohon buah-buahan—sirsak, jambu, alpukat, durian–sayur-mayur, sampai bunga.
Diberi kepercayaan mengelola petak tanah ini tentunya membuat dada saya membusung bangga. Di antara semua anaknya, cuma saya yang diberi lahan khusus untuk ikutan bertanam seperti Papa. Kata Papa, tangan saya dingin. Megang apa saja, tanpa perlu terlalu banyak berupaya jadi sesuatu. Termasuk bercocok tanam.
Padahal saya tahu. Ada fakta lain tentang tangan. Tangan saya lemah. Tak seperti tangan anak kebanyakan. Saya bahkan tak kuat mengangkat nampan berisi piring atau gelas minum. Saya juga bahkan tak bisa menggenggam beras.
Tapi, dengan fakta itu, saya tetap mendapatkan hadiah sepetak tanah yang harus saya urus.
*
Rumah kami, mulai dari rumah di Palembang sampai rumah sekarang di Malang, selalu paling rimbun di antara rumah tetangga yang lain. Paling teduh. Dan paling cantik. Apalagi kalau anggrek Papa sedang berbunga semua. Atau pohon buah-buahan yang ditanam Papa sedang berbuah lebat.
Jadi, sewaktu mendapatkan tanah itu, saya bertekad ingin menanam sesuatu yang berguna. Tapi kalau harus menanam pohon rambutan atau jambu, harus berapa lama lagi saya menunggu agar hasil tanaman saya bisa berguna? Saya putuskan petak tanah itu saya tanami dengan sayur-sayuran, yaitu daun seledri, daun bawang, cabai, dan kangkung.
Tanaman terakhir gagal karena kangkung yang saya tanam ternyata bukan kangkung darat. Ini pun saya ketahui setelah Papa memberitahu bahwa kangkung yang saya tanam tidak sama dengan kangkung darat yang saya lihat banyak tumbuh liar di sekitar perumahan kami.
Alasan lain kenapa saya memilih sayur-mayur karena itu paling gampang. Saya tak perlu mencangkul. Hanya perlu menggemburkan tanah dengan sekop. Tentu ini tak seberat pekerjaan mencangkul bukan?
Setiap sore dan hari libur, bersama Papa, saya akan sibuk mengurusi tanaman saya. Papa saya sibuk dengan semua tanamannya yang ada di seluruh pekarangan rumah. Mulai dari depan, samping kanan, hingga belakang. Hanya samping kiri, separuhnya adalah lahan saya. Sisanya punya Papa semua.
Saya suka aktivitas bertanam dengan Papa. Ini aktivitas yang membuat saya merasa dekat dengannya. Dia mengajari saya bahwa tanaman pun punya perasaan. Gak boleh menginjak rumput, jangan memetik bunga atau buah sembarangan, Jangan mukul-mukulin pisau atau benda tajam ke pokok pohon. Walaupun ada juga beberapa tanaman yang pokok pohonnya harus dipukul-pukul agar bisa cepat berbuah.
Satu sore, ketika saya sedang menggemburkan tanah di kebun kecil saya, Papa datang menghampiri.
‘Sering diajak ngobrol nggak tanamannya?’ tanyanya sambil membersihkan tangan di keran air yang berada dekat ‘kebun’ saya.
‘Ngomong?’
‘Iya, tanaman juga punya perasaan. Kalau kamu nanamnya nggak pake hati, dia juga nggak cepat besar. Nggak cukup pupuk saja. Tanaman perlu diajak ngomong.’
Saya melihat tanaman saya yang tak kunjung gemuk. Tumbuh, sih. Tapi kurus-kurus. Daun seledri saya kecil-kecil. Begitu juga dengan daun bawang dan tanaman cabai.
‘Sambil nyiram atau sambil menggemburkan tanah, coba diajak ngobrol. Nyiramnya juga jangan kasar-kasar.’
Saya, dari kecil sampai sekarang, punya daya imajinasi yang luar biasa. Waktu kecil, saya suka buat boneka dari daun singkong dan rumput lalu melakukan pertunjukan teater dengan boneka-boneka ini. Audiens saya anak-anak kecil tetangga kompleks.
Jadi, saya membayangkan petak tanah saya ini seperti panggung pertunjukan dan tanaman yang saya tanam adalah pemainnya. Saya beri nama mereka satu per satu. Setiap hari, sebelum pergi sekolah, saya sapa mereka. Sore hari, sebelum mandi, sembari menyiram, saya ajak ngobrol tanaman ini. biasanya saya menceritakan peristiwa-peristiwa di sekolah. Kadang saya mengarang cerita juga.
Ajaib. Tanaman yang saya tanam membesar. Daun seledri saya hijau dan terlihat sehat. Begitu juga dengan daun bawang. Cabai saya mulai berbunga. Saya tertawa senang. Ternyata, Papa tidak bohong.
Momen paling menyenangkan dari itu semua adalah ketika nenek saya, Mantet—demikian saya memanggilnya, singkatan dari mama bontet (gendut)—bertanya apakah dia boleh meminta daun seledri dan daun bawang dari kebun saya untuk sup yang akan dimasaknya.
‘Boleh!’ Saya menjawab lantang. Merasa telah melakukan hal yang besar.
Mantet lalu pergi ke petak kebun saya. ‘Kamu mau memetiknya sendiri?’
Pertanyaan sederhana ini justru membuat saya terdiam. Memetik? Saya melihat ke arah teman-teman saya yang tampak hijau segar dan rimbun. Saya tak tahu bagaimana cara memetiknya. Lalu, setelah dipetik, apakah mereka akan baik-baik saja?
Saya menggeleng.
Mantet lalu membungkuk, dia memetik daun seledri dan daun bawang saya. Beberapa menjadi gundul. Tak lagi hijau dan terlihat jelek. Sesaat, saya sempat menyesali telah memperbolehkannya memetik sayur-sayuran dari ladang kecil saya.
Sore itu, saya tidak bersemangat seperti biasanya. Saya hanya duduk di teras sambil melihat Papa yang sedang sibuk membersihkan daun bunga anggreknya.
‘Kamu kenapa?’
‘Kebunku gundul, Pa.’
‘Kenapa? Dipatuk ayam tanamannya?’
‘Bukan. Tadi dipetik. Diambil buat sup yang dimasak Mantet.’
‘Ooooh. Bagus itu.’
‘Bagus?’
Papa mengangguk. Ia lalu mengajak saya ke petak kebun saya yang tampak gundul.
‘Agar bisa tumbuh lebih banyak, beberapa harus diambil kalau sudah tiba waktunya. Supaya helai seledri dan daun bawangmu yang hijau ini tidak membusuk karena semakin tua, ya memang harus dipetik.’
Saya terdiam.
‘Dengan dipetik, berarti daun baru akan muncul. Semua itu ada masanya. Kalau dibiarkan malah akan membusuk dan nggak ada gunanya,’ kata Papa sambil mencabuti helai-helai daun yang lain.
‘Nanti tumbuh lagi?’
Papa mengangguk. ‘Nyiramnya jangan kebanyakan ya. nanti jadi busuk.’

*
Papa benar. Beberapa hari kemudian, pucuk-pucuk daun yang baru bermunculan. Warna hijau pucatnya menyembul sedikit demi sedikit. Daun baru. Harapan baru. Hidup baru. Namun, masih dari batang tanaman yang sama.
*
Satu sore, sepulang dari sekolah, saya dikejutkan dengan kondisi kebun saya yang berantakan. Rupanya ayam tetangga mematuk dan menginjak-injaknya. Saya menangis sejadi-jadinya. Kesal yang luar biasa. Jauh lebih kesal daripada ketika tahu daun tanaman saya dimakan ulat.
Saya jadi membenci ayam.
Sore itu, ketika Papa pulang dari kantor, dia mendapati saya sedang merapikan petak kebun sambil menangis.
‘Ayam, ya?’
‘Aku benci ayam! Aku mau bikin pagar aja,’ jawab saya.
Papa tidak berbicara apa pun. Dia hanya membantu saya merapikan kebun saya. ‘Ini masih bisa ditanam lagi.’
‘Tapi ayam itu akan balik lagi. Nanti mati lagi.’
‘Tanaman ini lebih kuat dari yang kamu duga. Selama kamu masih mau mengurusnya dan menjaganya, dia akan baik-baik saja. Yang membuat tanaman ini mati nanti, bukan ayam. Tapi ketika kamu berhenti menanam dan mengurusnya.’
Saya terdiam. Pada saat bersamaan, saya mendengar bunyi kambing mengembik. Rupanya, kambing tetangga memakan daun tanaman yang Papa tanam di sepanjang pagar.
Papa mengusir kambing-kambing itu. Saya mendengar dia sedikit menggerutu, tetapi itu hanya berupa, ‘Ya, kasihan tanamannya, deh. Padahal baru juga mau berbunga.’
Sewaktu di Manado, kami memang tinggal di kompleks kejaksaan yang berada di semacam lembah. Para tetangga suka memelihara kambing. Juga kambing dari penduduk di luar kompleks acapkali masuk ke perumahan dan memakan tanaman yang ada.
Tak lama, dengan kesabarannya, Papa sibuk merawat tanamannya yang dimakan kambing. Dan saya baru sadar, ekspresi Papa yang paling saya suka adalah ketika dia sedang menanam. Wajahnya yang keras akan terlihat lembut dan keibuan. Wajah yang sama seperti ketika dia menggendong dan merawat saya yang sedang sakit.
Papa lagi-lagi benar, yang membuat tanaman mati itu bila manusia berhenti merawatnya.
*
Saya termasuk anak yang beruntung. Hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Tapi, Papa tak pernah luput mengenalkan saya kepada alam. Dia yang mengajari saya membedakan beragam jenis pohon. Dia yang mengajak saya menjelajah hutan dan kebun durian di pelosok desa di Sumatra. Menyusuri sungai dan laut. Dia juga mengajak saya ke perkebunan pala, cengkih, cokelat, langsat yang ada di Sulawesi.
Beranjak dewasa, saya melakukan perjalanan saya sendiri. Saya menjelajah hutan di Way Kambas, pergi ke Pagar Alam dan naik gunung bersama teman-teman. Mendaki Bukit Panderman di Batu, lalu bermukim di kota kecil Cherokee yang ada di lembah, di hutan Great Smokey Mountain, North Carolina, USA.
Saya punya mimpi pergi ke hutan di Kalimantan yang konon vegetasinya luar biasa. Setiap ketinggian yang berbeda memiliki vegetasi berbeda pula. Saya juga kepingin melihat anggrek hitam di hutan Irian Jaya. Dan masih ada sejuta keinginan saya yang lain.
Tapi keinginan terbesar saya, yang timbul-tenggelam di antara ketakutan saya, adalah melihat ibu bumi ini terus ada.
Seperti kata Papa, yang membuat alam mati itu ketika manusia berhenti mengurus dan memelihara. Menanam mungkin tak sukar untuk orang-orang di pedesaan. Itu bagian dari kehidupan dan kearifan lokal mereka. Tapi, tinggal di perkotaan yang miskin lahan, itu memang problematika sendiri. tetapi bukan mustahil.
Tinggal manusianya mau apa tidak.
*

Selalu ada saat di mana kondisi berbalik. Dulu kita yang dirawat orangtua, Beranjak dewasa dan kedua orangtua kita kian uzur, giliran kita yang menjaganya.
Ibu bumi kian tua. Selayaknya seorang ibu, dia telah memberi banyak, tanpa meminta. Sebelum terlambat, ini waktunya kita anak ibu bumi mengurusnya. Menjaganya.
Membalas cinta yang tanpa syarat dengan menanam.
Menanam cinta. menanam hidup. Menanam pohon.