menghidupkan karakter dalam tulisan perjalanan naratif

Di lorong-lorong kota tua Cusco, suku-suku asli Pegunungan Andes mudah ditemui.
Di lorong-lorong kota tua Cusco, Peru, suku-suku asli Pegunungan Andes mudah ditemui.

Menjadikan orang yang ditemui di perjalanan sebagai tokoh utama adalah salah satu teknik kreatif dalam sebuah tulisan perjalanan naratif.

PADA hakikatnya, tulisan perjalanan selalu merupakan perkara manusia-manusia yang bersikap melewati waktu. Dan, ‘Naratif,’ kata Mark Kramer, ‘adalah soal manusia-manusia bersikap melewati waktu itu.’

Cerita tentang Tuan Ibrahim begitu membekas di ingatan saya. Lelaki pengusaha itu sangat menyukai budaya Barat—dalam hal ini Amerika Serikat. Ia mengendarai Mercedes, suka berkemeja kotak-kotak dan mengenakan celana jins biru, bangga dengan fakta bahwa Beirut memiliki dua Hard Rock Café, dan beranggapan bahasa Inggrisnya beraksen Amerika.

Saya mengenal Tuan Ibrahim dari tulisan Rolf Potts berjudul ‘My Beirut Hostage Crisis’ yang dimuat di The Kindness of Strangers, sebuah kompilasi tulisan nonfiksi perjalanan naratif yang dieditori oleh Don George. Buku terbitan Lonely Planet yang menceritakan kebaikan-kebaikan dari orang yang tak kita kenal selama perjalanan ini mendapatkan pengantar dari Dalai Lama. Hanny Kusumawati, rekan saya di @jktonfoot dan @writingtable, meminta saya membaca kisah Potts di Beirut. ‘Tuan Ibrahim-nya lucu, W,’ kata Hanny sambil menyodorkan buku itu.

Dan benar saja. Tuan Ibrahim memang lucu sekaligus bintang utama dalam tulisan tersebut.

POTTS bertemu Tuan Ibrahim di sudut rue Hamra and Jeanne d’Arc yang berada di Distrik Hambra, bagian Barat Beirut. Saat itu Potts sedang sibuk mengamati peta di tangan, mencari The Hole in The Wall, sebuah pub yang direkomendasikan oleh kenalan temannya.

Pertemuan Potts dengan Tuan Ibrahim mengantarkan ia menjelajah Beirut dari sisi yang diinginkan dan dianggap Tuan Ibrahim harus dilihat orang asing. Tuan Ibrahim mengajak Potts ke lokasi-lokasi yang menurutnya membanggakan, seperti restoran buffet kelas atas Weekland, berlayar dengan kapal pesiar, dan menyambangi bangunan-bangunan modern (mal, hotel, bioskop, dan resor mewah).

Ia membawa Potts menjauh dari area-area reruntuhan perang di Beirut. Padahal, selama di Beirut, Potts mendapatkan kenyataan bahwa sangat sulit untuk seorang pelancong tidak menjadi seorang ‘wisatwan perang—war tourist’. Potts sendiri sebenarnya kurang tertarik dengan pariwisata perang. Namun, entah mengapa, ia mendapati dirinya terpikat kepada puing-puing sisa perang di Beirut sehingga terdorong mengeksplorasi lebih banyak.

Sayangnya, Tuan Ibrahim yang mendapuk diri sendiri sebagai pemandu wisata pribadi Potts berpikiran lain. Ia ingin orang asing yang mengunjungi Beirut melihat negerinya tak berbeda dengan Eropa, bahkan kalau bisa, Beirut adalah Amerika yang lain.

The Green Line adalah sisa area perang di Beirut, Lebanon. Sumber foto: Wikiwand.
The Green Line adalah sisa area perang di Beirut, Lebanon. Sumber foto: Wikiwand.

‘The Green Line bukan untuk turis!’ sentak Tuan Ibrahim sambil menggerak-gerakkan telunjuk di depan wajah Potts sewaktu ia mengetahui kawan Amerika baru -nya pergi mengunjungi The Green Line.

‘Saya pikir akan sangat menarik bila….’ Potts coba menjelaskan apa yang ia pikirkan.

‘Apakah kami terlihat seperti teroris?’ Tuan Ibrahim menukas kalimat Potts dengan gestur yang menunjukkan ia marah.

‘Tentu saja tidak!’

‘Tentu saja tidak! Lihat itu. Ini seperti Eropa. Tidakkah ini mirip Eropa?’

‘Ya, tempat ini sangat bagus.’

‘Lalu mengapa kau pergi melihat gedung tua yang dindingnya dipenuhi tembakan peluru?’

Satu ketika Potts berusaha melepaskan diri dari Tuan Ibrahim yang terus menempel dan menjejalinya dengan wisata Beirut versi lelaki itu. Potts memutuskan mengeksplorasi tempat yang ia anggap menarik dan tak mungkin ia kunjungi bersama Tuan Ibrahim. Setelah sekian jam berkeliling, ia kembali ke hotel. Tiba di hotel, ia mendapati Tuan Ibrahim telah menunggunya selama dua jam lebih. Lelaki itu marah karena Potts sama sekali tak meneleponnya dan merasa sebagai teman, Potts telah mengkhianatinya dengan tak berkabar sama sekali. Lelaki berusia 32 tahun ini menghukum Potts dengan menyuruhnya menghabiskan semangkuk besar pudding cokelat buatan saudara perempuannya.

Setelah insiden memakan puding cokelat semangkuk besar, Potts memutuskan meninggalkan Beirut menuju Tripoli, sebuah pelabuhan di pantai barat laut Lebanon. Ia hanya meninggalkan sebuah pesan untuk Tuan Ibrahim yang dititipkan kepada manajer hotel.

I’m sorry to have to tell you this way, but I had to go to Syria on short notice. Thank you for your kindness and hospitality. I will remember Lebanon well.”

***

Manusia adalah penggerak utama cerita perjalanan.
Karakter adalah penggerak utama cerita perjalanan.

SAMA seperti dalam elemen dasar penulisan fiksi, tulisan nonfiksi naratif (termasuk di dalamnya tulisan perjalanan naratif) yang bagus disangga oleh tiga kaki, yaitu karakter, tindakan, dan adegan.

Dan karakter menjadi hal yang didahulukan karena ia menggerakkan dua kaki lainnya. Personalitas, nilai, dan hasrat menghasilkan dorongan yang membuat karakter bertindak.

Kisah perjalanan sendiri sebenarnya adalah kisah-kisah manusia di belahan Bumi mana pun yang bergerak menyikapi waktu dan menjawab tantangan hidup dalam keseharian. Tuan Ibrahim yang pernah tinggal di The Green Line menjelma menjadi pemuja tentara asing karena sewaktu kecil ia sering mendapatkan makanan dari tentara yang berjaga di daerah ini, tetapi justru ia tak menginginkan para wisatawan mengunjungi tempat itu. Ia memiliki keyakinan sebagai warga negara berkewajiban menunjukkan kepada para wisatawan bahwa negerinya bukanlah sebuah negeri yang porak poranda akibat perang. Keyakinan ini menerbitkan inisiatif dalam dirinya untuk memandu Potts. Harapan Tuan Ibrahim sederhana, ia ingin Potts bisa mengabarkan kepada orang-orang di luar sana bahwa Lebanon tak kalah dengan Eropa, bahwa Lebanon berisi orang-orang genius dan bukan teroris. Pendapat seperti itu, dalam anggapannya, akan tercipta apabila Potts melihat pembangunan area-area megah dan reruntuhan bersejarah di Beirut, bukan puing-puing sisa perang.

Menjadikan seseorang yang ditemui di perjalanan sebagai bintang utama dalam tulisan perjalanan naratif adalah salah satu teknik kreatif yang bisa digunakan.

Manusia adalah ladang cerita.
Manusia adalah ladang cerita.

Manusia adalah makhluk yang secara alami merupakan ladang cerita. Lewat kontak antarmanusia, kita belajar banyak hal. Ada banyak manusia yang menginspirasi, yang membuat kita mengenal atau mengenang sebuah tempat atau bahkan memberi pengaruh pada diri kita. ‘My Beirut Hostage Crisis’ mengenalkan Beirut dari dua sisi yang bertentangan kepada saya. Tuan Ibrahim menjadi sosok yang menampilkan Beirut dari sudut pandang seorang penduduk lokal yang memiliki trauma perang sehingga menginginkan orang-orang asing hanya menyaksikan modernisasi, sementara keinginan Potts untuk mengekplorasi bekas-bekas area perang mengajak saya melihat sisi lain Beirut yang menarik dari sudut pandang seorang pejalan asal Amerika Serikat.

Pada akhirnya, masa lalu dan motiflah yang mengganjarkan nilai moral pada tindakan setiap manusia. Alih-alih merasa terganggu dengan Tuan Ibrahim yang digambarkan selalu berang setiap kali melihat Potts tidak antusias dengan tujuan ‘wisata’ yang diaturnya, cerita Potts justru berhasil menerbitkan simpati saya kepada lelaki ini. Potts memasukkan latar belakang Tuan Ibrahim yang berhasil ia gali selama perjalanan ke tulisan, membuat saya sebagai pembaca mendapatkan gambaran tentang lelaki yang memutuskan berselibat dan menjauhi alkohol. Lelaki yang semasa kecil tinggal di The Green Line yang merupakan ‘area bekas perang’ ini lahir di keluarga campuran. Ayahnya seorang muslim Sunni, sementara ibunya seorang nasrani Maronite. Ketika akhirnya Amerika menarik diri dari Beirut dan rumah Ibrahim hancur dalam pertempuran yang sedang berlangsung, keluarganya menyelamatkan diri ke pinggiran kota.

Perang memang selalu meninggalkan trauma, setipis apa pun dan dalam wujud apa pun. Bahkan kebaikan sekalipun menjadi sesuatu yang absurd nilainya.

Pertentangan adalah hal yang menjadikan tulisan nonfiksi perjalanan bergaya naratif yang ditulis Potts memikat.

Antara keegoisan dan kebaikan hati, kekinian dan masa lalu, pembangunan dan reruntuhan, cinta dan benci, kelemahan dan kekuatan, serta antara apa yang dianggap baik oleh Tuan Ibrahim dan apa yang diinginkan penulis. Bukankah memang kerap manusia berada di persimpangan seperti itu? Karakter-karakter di dalam tulisan ini—lewat tindakan dan sudut pandang—menggerakkan cerita dan mengenalkan Beirut dengan cara berbeda kepada pembaca.

Nande, salah satu anak dari suku Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Bagaimana orang Rimba menjalani hidup ketika rimba sudah semakin mengecil, bahkan kelak tak ada?
Nande, salah satu anak dari suku Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Bagaimana orang Rimba menjalani hidup ketika rimba sudah semakin mengecil, bahkan kelak tak ada?

Tulisan perjalanan naratif adalah kisah-kisah perjalanan yang melampaui letak geografis dan laporan kronologis. Semua kisah perjalanan pada dasarnya adalah soal karakter manusia yang bergerak, berjuang, dan bersikap melewati waktu. Manusia yang tengah berupaya itu adalah karakter yang luar biasa memikat untuk dituliskan. [13]

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di sebuah media perjalanan. Ini dulunya adalah sebuah proyek eksperimental terkait penulisan perjalanan naratif: bagaimana menulis kisah perjalanan sambil belajar dari tulisan-tulisan perjalanan para penulis lain.

 

windy ariestanty

Author: windy ariestanty

a writer who loves traveling and falling in love with places she hasn't visited and people she hasn't met yet. she thinks that she is the wind.

8 thoughts on “menghidupkan karakter dalam tulisan perjalanan naratif”

  1. Akhirnya aku dapat jawaban kenapa aku selalu rindu dengan tulisan perjalanan mbak W.
    Selama ini cuma merasa tulisan mbak W beda dengan penulis perjalanan lain. Karakter adalah kunci. Ketika penulis perjalanan lain lebih fokus ke tempat, mbak W mengangkat manusia sebagai penggerak cerita.

    Ini juga jawaban, mengapa di tempat yang sama, kisahnya pasti berbeda. Yang menggerakkan berbeda.

    Aku menantikan tulisan selanjutnya. Aku berasa baca lanjutan Life Traveler yang aku tunggu-tunggu. Tapi yang seri ini ada ilmu menulisnya.

    Terima kasih mbak W

    1. hai! terima kasih sudah berkunjung dan mau membaca catatan-catatan di blog ini. blog ini dimaksudkan untuk menjadi media saya berlatih menulils, kok. jika ternyata ada yang bisa turut berlatih juga, itu adalah kesenangan yang berbeda untuk saya.

      banyak terima kasih dan semoga kau betah di sini.

  2. Kita pernah bertemu beberapa tahun lalu di Wahid Institute, Mbak W. Saya selalu menunggu tulisan-tulisan di blog ini. Terimakasih telah kembali memposting 🙂

  3. Membaca tulisan Mbak Windy seperti sedang menonton film pendek yang kaya rasa. Seperti diajak berpetualang dan menemukan kehangatan di setiap cerita. Suka sekali berkunjung ke sini. Tulisan Mbak membawa gelombang yang menenangkan dan membuka pintu-pintu inspirasi. Saya sedang berproses menyelesaikan sebuah buku, semoga suatu hari saya bisa beruntung untuk bukunya dibaca dan dibenahi oleh penulis favorit saya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *