shandong: tentang orang terbijak, tempat tersuci, dan seni bertanya (1)

salah satu bagian tembok raksasa (the great wall) di provinsi shandong. meskipun sebagain besar tembok sudah tidak utuh, tetapi kita masih bisa menyusurinya.
salah satu bagian tembok raksasa (the great wall of china) di provinsi shandong. meskipun sebagian besar tembok sudah tidak utuh, tetapi kita masih bisa menyusurinya.

‘Ada apa di Shandong?’ adalah pertanyaan pertama yang diajukan Alexander Thian setelah ia menjawab ‘mau’ dengan cepat ketika saya mengajaknya ke Shandong. Alex tentu saja bukan satu-satunya yang begitu. Pertanyaan itu dipastikan selalu menjadi pertanyaan pertama yang mengikuti saban kali mulut saya melontarkan ‘Shandong’.

Namun, mana ada ada yang salah dengan pertanyaan dan ketidaktahuan. Seperti kata Konfusius, mereka yang bertanya mungkin sesaat akan terkesan bodoh, tetapi mereka yang tidak bertanya justru terjebak kedunguan selamanya.

Jadi, saya biarkan Alex terus bertanya sembari saya sendiri mencari jawabannya.

Kalau kalian salah satu dari orang yang melontarkan pertanyaan serupa, maka ini (bisa jadi) jawaban yang akan mengantarkan kalian menemukan jawaban-jawaban lainnya.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
sebagian tembok raksasa cina (the great wall of china) ada di provinsi shandong.

Continue reading “shandong: tentang orang terbijak, tempat tersuci, dan seni bertanya (1)”

menerjemahkan cantik

tidak ada cantik yang sama.
tidak ada cantik yang sama. | kasan kurdi.

Tampil cantik dan menarik tak memiliki masa kedaluwarsa dan menua adalah bagian dari itu.

KAMPANYE #cantikitusehat yang digulirkan Ever-E250 baru-baru ini membuat saya teringat dengan obrolan soal cantik antara saya dan seorang jurnalis asing di Malaysia. Kepadanya saya menceritakan kisah seorang perempuan tua yang saya temui di sebuah salon langganan di Jakarta. Sebuah percakapan tak terduga yang banyak mengubah cara saya melihat diri dan menerjemahan cantik. Dari Oma—begitu saya memanggilnya—saya belajar bahwa diri yang dicintai akan selalu memberikan penampakan terbaiknya.

***

DULU, ada sebuah salon di daerah Benhil yang sangat sering saya datangi. Selain untuk mengurusi rambut, kesukaan saya kepada salon ini adalah karena pelanggannya beragam. Mulai dari anak muda hingga nenek dan kakek berusia lanjut.

Saya sangat suka duduk di dekat para pelanggan berusia lanjut, menguping percakapan mereka atau bahkan tak jarang ikutan menimbrung. Di salon ini, entah mengapa antarpelanggan bisa saling mengobrol meskipun baru bertemu dan memiliki latar belakang berbeda. Saya selalu beranggapan salon ini adalah sebuah melting pot. Si pemilik adalah seorang perempuan yang menjadi ‘pengikat’ kami semua.

Pergeseran saya melihat soal cantik dan menarik juga terjadi di salon ini melalui sosok seorang oma yang pagi itu menjadi kawan mengobrol.

Continue reading “menerjemahkan cantik”

baca-tulis

tiga anak pulau messah di taman bacaan pelangi sedang mengarang cerita yang gantian akan mereka bacakan kepada saya.
tiga anak pulau messah, kepulauan komodo, flores-ntt di taman bacaan pelangi sedang mengarang cerita yang gantian akan mereka bacakan kepada saya.

‘Bagaimana kamu bisa masuk ke dunia tulis-menulis?”  Pertanyaan sederhana dari Fiona, seorang kawan baru asal Australia beberapa hari lalu, membuat saya ditarik masuk ke masa silam dan membongkar-bongkar laci ingatan.

‘Saya pikir itu karena dua orang nenek dan seorang kakek saya,’ jawab saya cepat.

‘Bagaimana bisa?’ tanya perempuan yang pernah mengikuti pertukaran pelajar dan ditempatkan di Surabaya. ‘Kakek-nenekmu juga penulis?’

‘Bukan.’ Saya menimang-nimang untuk memulai cerita kepada Fiona dan Melissa. Keduanya datang ke Indonesia karena memenangkan sebuah kuis online yang berhadiah wisata ke Bali.

Lalu di sela-sela makan malam kami mulailah saya bercerita tentang orang-orang yang menjadi gerbang pertama saya berkenalan dengan dunia baca-tulis.

***

Continue reading “baca-tulis”

kaki-kaki buku

para negotiator cilik dari pulau rinca, kepulauan komodo, flores.
barter motret dengan para negotiator cilik dari pulau rinca, kepulauan komodo, flores.

Sama seperti mimpi, buku-buku baik pun perlu diberi kaki agar ia bisa sampai ke pelosok Indonesia dan menjadi teman anak-anak.

AWALNYA terjadi begitu saja. Saya bertemu dengan sekelompok anak yang suka menjelajah Indonesia bagian timur sambil membawa buku-buku ke tempat-tempat tak terjangkau. Mereka membantu saya menemukan jalan besar di desa terdekat untuk bisa tiba di bandara tepat waktu.

Saya saat itu sehabis mengisi workshop Narrative Travel Writing di Makassar International Writers Festival 2014, memutuskan bermain ke Ramang-ramang. Hanya bermodal nekat, pengetahuan minim, dan tanya kanan-kiri, saya tiba di sana. Di sanalah saya bertemu lalu selanjutnya mengekori mereka menjelajahi daerah itu, lupa kalau saya seharusnya segera kembali ke jalan utama dan bergerak menuju bandara.

Sekelompok teman baru ini bercerita kalau mereka suka membawa buku-buku ke desa-desa kecil di Sulawesi ketika sedang traveling. Mereka memberikan buku-buku itu ke perpustakaan atau di rumah-rumah baca setempat. Saya terpukau, betapa mereka punya cara bijak dalam berjalan. Saya mencuri dan berutang semangat itu dari mereka.

Continue reading “kaki-kaki buku”

bahagia yang bertumbuh

Tree Triplets
tree triplets. seperti pohon, bahagia itu bisa bertumbuh.

Robin Lim masih ingat bagaimana bersemangatnya bidan-bidan muda yang ingin belajar menulis dari Alfred Pasifico, seorang jurnalis yang juga sahabat baik anaknya Lakota Moira dan Robi Navicula. Robin sangat bersemangat tentang konsep memberikan bidan kesempatan belajar menulis. Menulis buat Robin adalah sarana yang memungkinkan ia menyebarkan pengaruh baik, bukan hanya kepada perempuan yang melahirkan di Bumi Sehat ini, tetapi kepada lebih banyak lagi perempuan di luar Bali.

‘Aku sangat memercayai kekuatan tulisan. Kita dapat menggunakannya untuk hal baik dan buruk. Jadi aku merasa kalau aku memberikan sedikit hatiku kepada para jurnalis-jurnalis muda ini, meski hanya sebentar, itu bukan hanya sekadar membuat mereka bahagia atau akan membantunya dalam karier, tetapi juga memberiku banyak kebahagiaan yang akan terus bertumbuh.

Continue reading “bahagia yang bertumbuh”

the wonderful indonesia: marsiti and landingan from bromo

 

For me, it is extraordinarily enchanting to see humans who—despite their limitations—do not lose their generosity, curiosity,  and eagerness to learn.

JOSHI Daniel, a new friend and a professional photographer from India invited by The Ministry of Tourism of Republic of Indonesia to travel to some of Indonesia’s favorite tourist destinations, held back his laughter as he saw me struggling with peeling landingan or mountain petai (stink bean), a task requested by Marsiti. The bowl in front of me still looked empty while a pile of landingan seemed unchanged. Continue reading “the wonderful indonesia: marsiti and landingan from bromo”

• the real wonderfulness of the wonderful indonesia. •

traditional markets and bookstores are two things i must visit when i explore places. they, for me, are the window that helps me experiencing the sense of somewhere through real interactions. humans at the market and books are two things that always present authenticity and purity in different ‘colors’. Continue reading “”

challenge yourself to wake up early morning and meet creative jakartans on creativemornings jakarta at conclave, september 11, 8am.

let’s share how empathy will give different voice into our works and makes us not only becoming a better creator but also a better human.

#Repost @cm_jakarta.
・・・
Windy Ariestanty has a 10-year experience as an editor-in-chief and director of GagasMedia Group, which houses 2 leading publishers for young people, GagasMedia and Bukune.
In early 2015, she decided to enter a new field—creative communication for the publishing industry by handling 27 publishers under AgroMedia Group umbrella. She is currently developing Writing Table, a pop-up creative writing school run together by several young Indonesian writers.
Windy is also an author. Her writings convey different point of views and angles on traveling. Instead of talking about places, she dug her topics into human interaction issues. Life Traveler, her first travelogue, which contains of narrative travel stories was shortlisted at Anugerah Pembaca Indonesia or Indonesian Reader’s Award in 2012.
Windy Ariestanty on Empathy
Friday, September 11th, 2015. 8am onwards.
Conclave Co-working Space, Wijaya.

Tickets are free but seats are limited. Claim yours tomorrow!

#CMJKT #CreativeMornings #CMempathy