Saban keluar dari gerbang sekolah, ada satu lelaki yang selalu kucari. Namanya Mbah Tar, tukang becak sebelah rumah di Blitar yang bertugas mengantar dan menjemputku.
Becak Mbah Tar tergolong becak jadul pada masanya. Besar, gendut, dan berat. Berbeda dengan becak-becak baru yang rata-rata dimiliki tukang becak lainnya; lebih kecil, lebih ramping, dan lebih ringan. Tudung becak milik Mbah Tar melengkung setengah lingkaran—mirip tudung kereta kuda di buku-buku dongeng kerajaan, sedang yang lain lurus lalu merendah di depan. Bagian depan becak Mbah Tar, tempat pijakan kakinya, mencuat. Mantet (panggilan untuk nenekku yang Cina) selalu mengingatkan agar aku duduk rapi dengan kaki rapat dan tidak mengangkang supaya celana dalam tak terlihat. Tangan harus aku letakkan di pangkuan agar rok tidak tersibak angin. Banyak betul aturan naik becak ini.
Waktu kecil, saban Mbah Tar mengayuh becak, aku selalu menoleh ke belakang. Aku bilang kalau kakiku sudah lebih panjang, aku akan bisa menggantikannya mengayuh becak. Dia sering terkekeh dan bilang kalau kakiku sudah lebih panjang itu artinya tugas dia antar-jemput selesai. Aku pasti akan punya sepeda atau sepeda motor, tidak lagi naik becak. ‘Terus Mbah Tar nanti gimana?’
Continue reading “sepatu dan mbah tar”