dua puluh empat desember

Aku menyatakan cintaku dengan terang-terangan kepada seorang lelaki pada 24 Desember 2020. Itu satu malam penting dan satu tindakan yang melegakanku hingga hari ini.

‘Aku sangat mencintaimu, Pa.’ Aku tak pernah merencanakan mengatakan itu kepadanya. Aku pikir tanpa perlu diucap, dia tahu. Sebagaimana aku tahu dia juga pasti mencintai kami semua anaknya. Tanpa syarat, tanpa batas.

Namun, menyatakan terang-terangan terasa penting malam itu. Aku ingin dia tahu anak perempuannya yang satu ini—yang selalu memberontak, yang pulang hanya ketika diminta pulang, yang selalu melakukan hal-hal yang dimaui saja—mencintainya. Juga tanpa syarat dan tanpa batas.

Dia, seperti yang aku duga, terhentak. ‘Kamu ngomong apa?’

‘Aku sayang sekali sama Papa.’

‘Papa juga sayang sekali sama kamu. Sama semua anak Papa.’

‘Aku minta maaf kalau aku banyak bikin Papa kecewa atau marah.’

‘Tidak pernah sekalipun kamu bikin Papa kecewa.’

‘Kalau begitu, maaf untuk bikin marah.’ Aku masih berusaha berkelakar di antara tangis, ingus, dan rasa cemas. Dia tertawa kecil sambil bilang ‘Ah, kau nih!’ dengan logat Melayu.

Kondisi kesehatan Papa memburuk tak lama setelah aku tiba di rumah. Akhir November 2020 desakan untuk pulang ke rumah Papa kuat sekali. Ini juga pertama kalinya aku merasa sangat ingin pulang, sangat ingin berada di dekat Papa.

‘Pulang, Ndol. Ikuti kata hatimu,’ kata Lulu Lutfi Labibi sewaktu aku bercerita soal aku ingin pulang. Semua rencana aku batalkan. Aku memberesi barang-barang, menyimpan dalam kontainer, dan menitipkannya ke Ria Papermoon. ‘Nanti, aku pulang lagi ke sini. Aku mau sama Papa dulu, ya.’ Aku pamit ke Lunang, lelaki kecil yang jadi sahabatku. Minta maaf karena aku terpaksa membatalkan sejumlah rencana main kami. Aku menyewa mobil dan sopir untuk mengantarkanku pulang ke rumah Papa di Malang dari Papermoon Residency House, sarangku selamanya terjebak pandemi di Jogja.

Pulang adalah keputusan paling tepat yang pernah kubuat.

Cinta yang meluaskan adalah Papa. Dia membiarkanku terbang bebas, tetapi juga menyediakan tempat untuk pulang.

Papa menyambut di pintu. Dia senang melihat aku menggeret koper besarku—tak hanya koper kecil kuning. ‘Kau akan lama?’ Aku mengangguk. Dua hari kemudian dia jatuh sakit setelah sehari sebelumnya sibuk mengurusiku yang tiba-tiba ambruk. Kalimatnya yang masih aku ingat, ‘Badanmu itu aneh. Kalau sakit, kasih tahu atau jangan jauh-jauh.’

Papa malas makan, susah tidur, dan mudah gelisah selama sakit. Aku kerap membohonginya agar dia mau menelan sesuatu. Dan biasanya berakhir dengan dia sewot karena berhasil aku kibuli. Bohong itu dosa, begitu omelnya. Namun, tetap saja aku membohonginya dengan banyak cara agar ada yang dia makan sebelum minum obat.

Aku dan Pak Bas bergantian menjaganya. Waktuku bertugas mulai pukul 3 sore hingga 7 pagi. Pukul 3 sore Pak Bas dan Bu Atin pulang. Semalaman aku akan bersama Papa. Menyuapinya, memandikannya, memakaikannya baju, hingga mengganti popoknya dengan yang baru. Biasanya sambil melakukan itu, Papa akan berkali-kali minta maaf karena malu telah merepotkan.

Aku hapal siklus Papa. Pada pukul berapa aku akan mengecek popok dan menggantinya dengan yang baru. Aku memastikan dia tidur dalam keadaan bersih dan membalur sekujur tubuhnya dengan minyak tawon kesukaannya. Sesaat dia tidur lelap. Aku akan  bergegas memberesi pekerjaanku sebelum kemudian aku mendengar suaranya memanggiliku dan minta ditemani hingga dia tertidur lagi. Malam-malam itu terasa panjang. Dulu aku suka malam karena bisa melakukan banyak hal. Belakangan aku mencoba melompati malam karena yang aku ingat adalah suara Papa yang gelisah.

Pukul 7 pagi, Pak Bas datang. Aku bisa tidur sampai pukul 9 pagi. Papa sudah mandi dan berjemur. Setelah Papa sarapan, biasanya kami membaca buku dan koran bersama. Aku membacakan untuknya. Dia mendengar dan mengomentari. Aku dulu tak pernah tahu kalau aku akan sanggup melakukan rutinitas ini dengan orang yang sama tanpa merasa bosan.

Dan tibalah malam itu. Malam yang membuat aku melihat malam Natal dengan cara berbeda. Papa yang gelisah, yang tiba-tiba mengajak bicara bagaimana jika dia mati lebih dulu. Kami bicara hal-hal yang mungkin dihindari banyak orang. Tentang hal-hal yang harus aku lakukan. Siapa-siapa yang harus aku temui dan baiknya aku bagaimana menghadapi mereka. Dia menjelaskan semua hal yang tak pernah kubayangkan harus aku ketahui dan selesaikan. Dia memberi semua kata sandi ke rekening banknya dan catatan keuangannya—dia pengarsip yang baik, berpesan bahwa hanya aku yang tahu dan sepenuhnya percaya aku akan bersikap bijak, jujur, dan adil. ‘Meski punya kita, sebaiknya juga mudah melepaskan. Jangan dijadikan rumit.’

Aku mengartikannya: tulus hati.

Hubunganku dengan Papa tak selalu mulus. Aku pernah menjauhinya, menolak pulang hingga satu hari dia menelepon dan memintaku pulang. Kami mengenang hari itu. ‘Aku minta maaf untuk semua sikap keras kepalaku waktu itu,’ kataku.  Dia menggeleng. ‘Papa yang minta maaf. Kurang peka.’

Kami jarang mengucap sayang dan cinta. Namun, mengaku salah dan meminta maaf untuk kekeliruan yang dibuat adalah apa yang selalu Papa tekankan. Mengatakan maaf dengan sungguh-sungguh adalah sama pentingnya dengan mengatakan cinta dengan sejujurnya.

‘Papa suka bingung menghadapimu.’

‘Kenapa?’

Dia menerawang, ‘Kau bisa semuanya sendiri.’ Aku menyeletuk kalau itu yang melulu dia tekankan dulu. Harus mandiri dan jangan merepotkan orang lain. ‘Iya. Makanya kalau kau capek, sedih, marah, pulang ke Papa.’

Ada satu sore, setelah kawanku dijemput oleh orangtuanya, Papa memanggilku. Kami duduk di kursi makan. Besok dia sudah harus kembali ke Kendari dan hanya kali ini waktu yang kami punya untuk bicara. Sambil meminum teh panasnya ia katakan dengan sangat tenang tentang hal yang mungkin tak diharapkan orangtua manapun terjadi pada anak perempuannya. Jika satu hari aku hamil di luar nikah, aku tak perlu ke mana-mana, tak perlu sembunyi, tak perlu takut pulang. ‘Papa akan bisa menerimamu dalam keadaan apa pun.’ Dia tak meminta aku memberi tahu siapa pun lelaki itu kelak, dia hanya minta aku pulang tanpa perlu takut dan tanpa menyembunyikan apa pun.

Sampai hari ini, itu bentuk pernyataan cinta paling tulus yang pernah aku terima. Dan malam itu, 24 Desember 2020, aku mau Papa tahu bahwa aku mencintainya dengan sama tulus, aku mau dia tahu tak pernah sekalipun aku merasa direpoti olehnya. Tidak juga ketika dia kencing dan berak di celana lalu kubersihkan dengan tanganku sendiri, bukan tangan orang lain. Aku memilih mengerjakannya. Itu satu-satunya cara agar dia nyaman dan tahu bahwa aku, tak seujung kuku jari pun, keberatan melakukannya.

Dulu aku pikir aku tak akan bisa meninggalkan segalanya untuk siapa saja. Hubunganku dengan beberapa lelaki selalu selesai karena persoalan ini. Salah satu lelaki yang aku kencani terang-terangan bilang bahwa aku tak akan mau menukar hidupku untuk bersamanya. Dia tidak salah. Aku pikir hidup bersama itu harusnya tak bersifat transaksional dan tak perlu saling berkorban. Bertumbuh sewajarnya saja di jalan masing-masing. Namun, cinta yang umumnya dikenal bukan begitu. Cinta berarti harus saling menerima dan merelakan. Kendati manis, kisah cinta kami selesai. Kami sama-sama patah hati, tetapi tak lantas membuatku ingin bilang, ‘Baiklah, aku akan meninggalkan segalanya dan mengikutimu ke mana pun.’

Papa mengajarkan cara mencintai yang lain. Membiarkanku terbang bebas, tetapi menyediakan tempat pulang.

Patah hati terbesar adalah melepas orang kaucintai pergi lebih dulu.

Merawat Papa selama 45 hari menghadapkanku kepada hal-hal yang dulunya kuduga tak bisa kulakukan. Segalanya menjadi tidak penting. Aku sama sekali tak peduli dengan pekerjaan—yang masih kukerjakan hanya urusan patjarmerah, dua naskah untuk disunting, dan satu terjemahan karena itulah yang bisa membuatku terjaga sepanjang malam. Aku melewatkan ajakan kerja sama yang angkanya bisa membeli Creta secara kontan karena tahu waktuku lebih banyak untuk Papa. Ternyata, rasanya biasa-biasa saja. Tak rugi apa-apa.

Aku tahu hari itu akan datang; hari dia pergi. Aku mempersiapkan diriku untuk hari itu dengan sebaik-baiknya, dengan seteguh-teguhnya. Dengan semua cara yang aku tahu untuk kuat. Tetap saja aku luluh lantak.

Kalau kaupunya kesempatan untuk menyatakan cintamu (kepada orangtua), nyatakan. Tak ada yang perlu disimpan rapat-rapat. Sebab menyatakan cinta tak merendahkanmu. Ia juga tak membuatmu menimbun sesal untuk apa yang kaurasakan. Ini adalah malam 24 Desember kedua sejak aku menyatakan cintaku sambil memegang tangan Papa erat-erat. Dan aku masih akan terus berlatih mengatakannya.

‘Pa, jangan jauh-jauh.’ [13]

windy ariestanty

Author: windy ariestanty

a writer who loves traveling and falling in love with places she hasn't visited and people she hasn't met yet. she thinks that she is the wind.

23 thoughts on “dua puluh empat desember”

  1. tulisan kk w tidak pernah tidak mengena di hati. Tapi yg satu ini. Menusuk.
    Menjadi tamparan dn pengingat, kalau cinta itu harus disuarakan dgn lantang. Apalagi ke orang tua.

    Terimakasih kak, utk tulisan indahnya.

      1. Salah satu tulisan Kak W yang sukses berurai air mata.
        Duduk di closet sambil baca ini, bikin aku lupa untuk ‘bersih-bersih’ dan malah sesenggukan.
        Peluk erat untuk, Kak W. Terima kasih sudah berbagi cerita ❤️

        1. dewi, aku minta maaf sekali telah menggangu aktivitasmu bersih-bersih closet. semoga setelahnya kau berhasil mengumpulkan kembali semangat untuk bersih-bersihmu. terima kasih, ya, sudah mampir dan membaca catatan ini.

  2. Aku tiba-tiba ingin membuka blog Kak W, dan ternyata aku menemukan ini. Kak W, ini sangat keren. setiap kata yang kau tulis mencekik leherku. juga menyadarkanku bahwa selama ini aku tidak pernah mengungkapkan cinta kepada orang tuaku.

    1. mbak reda, terima kasih sudah singgah dan membaca catatan ini. aku belakangan berpikir mencatat hal-hal itu; hubungan anak perempuan dan ayahnya. selamat tahun baru, mbak reda!

  3. Terima kasih kak untuk tulisan yg begitu tulus. Terima kasih sdh mengingatkan kalau menyatakan cinta tak merendahkan. ❤️❤️❤️

  4. Selamat sore Kak W,
    Terimakasih karena membantu saya mengutarakan cinta pada orang tua saya lebih sering. Semoga Papa Kak W ada di tempat paling indah sekarang, di dekat-Nya tapi juga selalu dekat dengan Kak W.

    1. hai, yosi. terima kasih sudah meninggalkan jejak di sini, juga banyak terima kasih untuk doa baiknya. amiiiin.

  5. Membaca tulisan ini menciptakan basah di mata karena hadirnya kenangan yang tiba-tiba.
    Hari-hari dimana menemani ayah yang beberapa hari kemudian kembali ke penciptanya.

    Selalu mengagumi tulisan-tulisan mbak W

  6. Sejauh saya membaca tulisan-tulisan Mbak W, baru tulisan ini yang membuat saya membacanya diliputi beberapa jeda; haru dan tangis sedu. Mbak W, tulisan ini hangat sekali. Terima kasih, ya.

  7. Kak w, entah kenapa aku penasaran sekali dengan tulisanmu tentang papa, kini aku tau alasannya, tulisanmu sedikit meredakan kerinduanku pada ibuku, menerawang kembali kenangan manisku bersamanya. Aku sungguh ingin memeluknya kak. Aku merindukannya.
    Terimakasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *