pencuri sultana

AKU akan memulai cerita ini dengan sebuah pengakuan: aku adalah seorang mantan pencuri kue sultana.

Karierku sebagai pencuri kubangun sewaktu duduk di sekolah dasar. Semua bermula dari peraturan makan kue yang diberlakukan di rumah oleh Mama dan Mantet—panggilan untuk ama atau nenekku. Tidak banyak hal yang aku ingat tentang Mama. Dari yang tak banyak itu, yang paling membekas adalah kemahirannya membuat kue, terutama sultana dan nastar. Kepandaian mamaku membuat beragam kue, mulai dari kue basah, bolu, tar, sampai kue kering, ini sungguh tersohor. Ke mana pun kami pindah dan tinggal, Mama selalu jadi yang paling jago membuat kue dan kerap dimintai mengajar ibu-ibu lainnya. Sebulan sekali, setiap akhir pekan, garasi, teras rumah, atau dapur ia sulap jadi tempat belajar membuat kue.

Setiap ulang tahun, kue tar kami adalah buatan Mama. Bentuknya macam-macam. Waktu kakakku ulang tahun, ia dapat kue tar bertingkat dengan mawar yang merekah di setiap tingkatnya. Waktu adikku ulang tahun, ia dapat kue tar berbentuk mobil warna merah yang jadi kesukaannya. Waktu aku ulang tahun, gue tarku berbentuk tiga badut. Entah mengapa  begitu.

Kue tar buatan Mama untuk ulang tahun kami.
Continue reading “pencuri sultana”

sepatu dan mbah tar

Saban keluar dari gerbang sekolah, ada satu lelaki yang selalu kucari. Namanya Mbah Tar, tukang becak sebelah rumah di Blitar yang bertugas mengantar dan menjemputku.

Becak Mbah Tar tergolong becak jadul pada masanya. Besar, gendut, dan berat. Berbeda dengan becak-becak baru yang rata-rata dimiliki tukang becak lainnya; lebih kecil, lebih ramping, dan lebih ringan. Tudung becak milik Mbah Tar melengkung setengah lingkaran—mirip tudung kereta kuda di buku-buku dongeng kerajaan, sedang yang lain lurus lalu merendah di depan. Bagian depan becak Mbah Tar, tempat pijakan kakinya, mencuat. Mantet (panggilan untuk nenekku yang Cina) selalu mengingatkan agar aku duduk rapi dengan kaki rapat dan tidak mengangkang supaya celana dalam tak terlihat. Tangan harus aku letakkan di pangkuan agar rok tidak tersibak angin. Banyak betul aturan naik becak ini.

Waktu kecil, saban Mbah Tar mengayuh becak, aku selalu menoleh ke belakang. Aku bilang kalau kakiku sudah lebih panjang, aku akan bisa menggantikannya mengayuh becak. Dia sering terkekeh dan bilang kalau kakiku sudah lebih panjang itu artinya tugas dia antar-jemput selesai. Aku pasti akan punya sepeda atau sepeda motor, tidak lagi naik becak. ‘Terus Mbah Tar nanti gimana?’

Continue reading “sepatu dan mbah tar”

dua puluh empat desember

Aku menyatakan cintaku dengan terang-terangan kepada seorang lelaki pada 24 Desember 2020. Itu satu malam penting dan satu tindakan yang melegakanku hingga hari ini.

‘Aku sangat mencintaimu, Pa.’ Aku tak pernah merencanakan mengatakan itu kepadanya. Aku pikir tanpa perlu diucap, dia tahu. Sebagaimana aku tahu dia juga pasti mencintai kami semua anaknya. Tanpa syarat, tanpa batas.

Namun, menyatakan terang-terangan terasa penting malam itu. Aku ingin dia tahu anak perempuannya yang satu ini—yang selalu memberontak, yang pulang hanya ketika diminta pulang, yang selalu melakukan hal-hal yang dimaui saja—mencintainya. Juga tanpa syarat dan tanpa batas.

Continue reading “dua puluh empat desember”

di suatu tempat bernama sawenduy [1]

Yang terbaik biasanya selalu kita simpan untuk diri sendiri. Namun, di sebelah utara Teluk Cendrawasih, di Kampung Sawenduy, Distrik Raimbawi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, penduduknya mengajari saya memberikan yang terbaik untuk orang lain.

Berpekarangan laut. Anak-anak kecil di Kampung Sawenduy, Kepulauan Yapen, Papua bermain di pekarangan rumah mereka; laut.

OMBAK dan angin sedang besar. Laut yang biasanya murah hati mengaitkan ikan pada kail Apsalom Korano dan Raymond tidak berlaku sama hari ini. Sampai kapal yang kami tumpangi hendak merapat di bibir pantai yang berada di sisi lain kampung pemekaran Sawenduy, tak seekor ikan pun berhasil didapat.

‘Tak ada ikan, Nak,’ kata Apsalom kepada saya yang duduk di sebelahnya. Saya mengamati kail Apsalom yang hanya berupa seutas benang pancing dengan umpan bohongan terbuat dari tanaman tepi pantai yang dibentuk mirip ikan kecil. Biasanya hanya dengan itu semua ia bisa mendapatkan ikan untuk makan satu penghuni mes Saireri Paradise Foundation (SPF).

Beberapa kawan dari SPF melompat ke laut. Di pulau ini, bila kapal hendak merapat, beberapa awak kapal harus mendorongnya ke bibir pantai sambil menghitung ombak. Kalau salah mengambil ombak, kapal kesulitan merapat, yang ada malah terempas-empas.

Continue reading “di suatu tempat bernama sawenduy [1]”

menghidupkan karakter dalam tulisan perjalanan naratif

Di lorong-lorong kota tua Cusco, suku-suku asli Pegunungan Andes mudah ditemui.
Di lorong-lorong kota tua Cusco, Peru, suku-suku asli Pegunungan Andes mudah ditemui.

Menjadikan orang yang ditemui di perjalanan sebagai tokoh utama adalah salah satu teknik kreatif dalam sebuah tulisan perjalanan naratif.

PADA hakikatnya, tulisan perjalanan selalu merupakan perkara manusia-manusia yang bersikap melewati waktu. Dan, ‘Naratif,’ kata Mark Kramer, ‘adalah soal manusia-manusia bersikap melewati waktu itu.’

Cerita tentang Tuan Ibrahim begitu membekas di ingatan saya. Lelaki pengusaha itu sangat menyukai budaya Barat—dalam hal ini Amerika Serikat. Ia mengendarai Mercedes, suka berkemeja kotak-kotak dan mengenakan celana jins biru, bangga dengan fakta bahwa Beirut memiliki dua Hard Rock Café, dan beranggapan bahasa Inggrisnya beraksen Amerika.

Saya mengenal Tuan Ibrahim dari tulisan Rolf Potts berjudul ‘My Beirut Hostage Crisis’ yang dimuat di The Kindness of Strangers, sebuah kompilasi tulisan nonfiksi perjalanan naratif yang dieditori oleh Don George. Buku terbitan Lonely Planet yang menceritakan kebaikan-kebaikan dari orang yang tak kita kenal selama perjalanan ini mendapatkan pengantar dari Dalai Lama. Hanny Kusumawati, rekan saya di @jktonfoot dan @writingtable, meminta saya membaca kisah Potts di Beirut. ‘Tuan Ibrahim-nya lucu, W,’ kata Hanny sambil menyodorkan buku itu.

Dan benar saja. Tuan Ibrahim memang lucu sekaligus bintang utama dalam tulisan tersebut.

Continue reading “menghidupkan karakter dalam tulisan perjalanan naratif”

shandong: tentang orang terbijak, tempat tersuci, dan seni bertanya (2)

kota tua weifang
kota tua weifang, ibukota layang-layang dunia.

Melayangkan Cerita, Melambungkan Budaya

Shandong bukan hanya tentang Konfusius dan daftar warisan dunia UNESCO. Shandong juga tentang upaya-upaya panjang merawat kebudayaan tua terus hidup tanpa tergerus zaman, di antaranya layang-layang dan kertas tahun baru di Weifang.

Ketika memasuki The Kite Museum di Weifang, ingatan saya berlari menuju ke sebuah pulau tua di Sulawesi Tenggara, Pulau Muna. Sejarah soal layang-layang berubah akibat ditemukannya lukisan cadas berusia lebih dari 4000 tahun di salah satu dinding gua di Muna yang menggambarkan aktivitas menerbangkan layang-layang. Layang-layang tertua di dunia ternyata tidak terbuat dari kertas dan tidak berasal dari Tiongkok, melainkan dari Pulau Muna, Indonesia dan terbuat dari daun kolope.

Continue reading “shandong: tentang orang terbijak, tempat tersuci, dan seni bertanya (2)”

shandong: tentang orang terbijak, tempat tersuci, dan seni bertanya (1)

salah satu bagian tembok raksasa (the great wall) di provinsi shandong. meskipun sebagain besar tembok sudah tidak utuh, tetapi kita masih bisa menyusurinya.
salah satu bagian tembok raksasa (the great wall of china) di provinsi shandong. meskipun sebagian besar tembok sudah tidak utuh, tetapi kita masih bisa menyusurinya.

‘Ada apa di Shandong?’ adalah pertanyaan pertama yang diajukan Alexander Thian setelah ia menjawab ‘mau’ dengan cepat ketika saya mengajaknya ke Shandong. Alex tentu saja bukan satu-satunya yang begitu. Pertanyaan itu dipastikan selalu menjadi pertanyaan pertama yang mengikuti saban kali mulut saya melontarkan ‘Shandong’.

Namun, mana ada ada yang salah dengan pertanyaan dan ketidaktahuan. Seperti kata Konfusius, mereka yang bertanya mungkin sesaat akan terkesan bodoh, tetapi mereka yang tidak bertanya justru terjebak kedunguan selamanya.

Jadi, saya biarkan Alex terus bertanya sembari saya sendiri mencari jawabannya.

Kalau kalian salah satu dari orang yang melontarkan pertanyaan serupa, maka ini (bisa jadi) jawaban yang akan mengantarkan kalian menemukan jawaban-jawaban lainnya.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
sebagian tembok raksasa cina (the great wall of china) ada di provinsi shandong.

Continue reading “shandong: tentang orang terbijak, tempat tersuci, dan seni bertanya (1)”

baca-tulis

tiga anak pulau messah di taman bacaan pelangi sedang mengarang cerita yang gantian akan mereka bacakan kepada saya.
tiga anak pulau messah, kepulauan komodo, flores-ntt di taman bacaan pelangi sedang mengarang cerita yang gantian akan mereka bacakan kepada saya.

‘Bagaimana kamu bisa masuk ke dunia tulis-menulis?”  Pertanyaan sederhana dari Fiona, seorang kawan baru asal Australia beberapa hari lalu, membuat saya ditarik masuk ke masa silam dan membongkar-bongkar laci ingatan.

‘Saya pikir itu karena dua orang nenek dan seorang kakek saya,’ jawab saya cepat.

‘Bagaimana bisa?’ tanya perempuan yang pernah mengikuti pertukaran pelajar dan ditempatkan di Surabaya. ‘Kakek-nenekmu juga penulis?’

‘Bukan.’ Saya menimang-nimang untuk memulai cerita kepada Fiona dan Melissa. Keduanya datang ke Indonesia karena memenangkan sebuah kuis online yang berhadiah wisata ke Bali.

Lalu di sela-sela makan malam kami mulailah saya bercerita tentang orang-orang yang menjadi gerbang pertama saya berkenalan dengan dunia baca-tulis.

***

Continue reading “baca-tulis”

kaki-kaki buku

para negotiator cilik dari pulau rinca, kepulauan komodo, flores.
barter motret dengan para negotiator cilik dari pulau rinca, kepulauan komodo, flores.

Sama seperti mimpi, buku-buku baik pun perlu diberi kaki agar ia bisa sampai ke pelosok Indonesia dan menjadi teman anak-anak.

AWALNYA terjadi begitu saja. Saya bertemu dengan sekelompok anak yang suka menjelajah Indonesia bagian timur sambil membawa buku-buku ke tempat-tempat tak terjangkau. Mereka membantu saya menemukan jalan besar di desa terdekat untuk bisa tiba di bandara tepat waktu.

Saya saat itu sehabis mengisi workshop Narrative Travel Writing di Makassar International Writers Festival 2014, memutuskan bermain ke Ramang-ramang. Hanya bermodal nekat, pengetahuan minim, dan tanya kanan-kiri, saya tiba di sana. Di sanalah saya bertemu lalu selanjutnya mengekori mereka menjelajahi daerah itu, lupa kalau saya seharusnya segera kembali ke jalan utama dan bergerak menuju bandara.

Sekelompok teman baru ini bercerita kalau mereka suka membawa buku-buku ke desa-desa kecil di Sulawesi ketika sedang traveling. Mereka memberikan buku-buku itu ke perpustakaan atau di rumah-rumah baca setempat. Saya terpukau, betapa mereka punya cara bijak dalam berjalan. Saya mencuri dan berutang semangat itu dari mereka.

Continue reading “kaki-kaki buku”

bahagia yang bertumbuh

Tree Triplets
tree triplets. seperti pohon, bahagia itu bisa bertumbuh.

Robin Lim masih ingat bagaimana bersemangatnya bidan-bidan muda yang ingin belajar menulis dari Alfred Pasifico, seorang jurnalis yang juga sahabat baik anaknya Lakota Moira dan Robi Navicula. Robin sangat bersemangat tentang konsep memberikan bidan kesempatan belajar menulis. Menulis buat Robin adalah sarana yang memungkinkan ia menyebarkan pengaruh baik, bukan hanya kepada perempuan yang melahirkan di Bumi Sehat ini, tetapi kepada lebih banyak lagi perempuan di luar Bali.

‘Aku sangat memercayai kekuatan tulisan. Kita dapat menggunakannya untuk hal baik dan buruk. Jadi aku merasa kalau aku memberikan sedikit hatiku kepada para jurnalis-jurnalis muda ini, meski hanya sebentar, itu bukan hanya sekadar membuat mereka bahagia atau akan membantunya dalam karier, tetapi juga memberiku banyak kebahagiaan yang akan terus bertumbuh.

Continue reading “bahagia yang bertumbuh”