pengakuan: saya orang yang ditolak… *)


‘Kenapa kamu melamar ke GagasMedia?’ tanya pewawancara. ’Karena saya mau bikin buku bagus di sini. Buku terbitan kalian jelek-jelek,’ jawab saya lugas tanpa rasa bersalah. Sedetik kemudian saya menyadari, saya baru saja menggali lubang kubur untuk masa depan saya. Jujur dan bodoh memang tipis bedanya.

Sejak hari wawancara itu saya berpikir, hanya penerbitan bodoh yang akan menerima saya sebagai editornya. Perusahaan mana yang akan menerima calon pegawai yang pada saat wawancara sama sekali tak memuji produk perusahaannya? 

Jadi, ketika Pak Ipink yang waktu itu menjabat sebagai HRD Kelompok AgroMedia menelepon dan memberi tahu bahwa saya diterima bekerja sebagai editor di GagasMedia, saya sempat tercenung. Satu karena saya tidak terlalu berharap bekerja di penerbit ini. Kedua, saya memang tidak berharap diterima setelah jawaban terlalu jujur yang saya berikan. Ketiga—dan ini alasan utama saya, saat itu saya sudah tak terlalu peduli akan bekerja di mana setelah semua mimpi saya kandas.

‘Selamat ya!’ ujar suara laki-laki di seberang sana. Saya menyambut dingin ucapan selamatnya dengan sepatah kata ‘Hu’uh’. Pak Ipink terdiam, lalu berkata, ‘Kamu tidak percaya ya kalau keterima? Kamu keterima loh di Gagas!’ 

‘Iya, saya tahu. Terima kasih.’ Saya menjawab dengan kening berkernyit. Respons macam apa yang sebenarnya diharapkan lelaki ini?

        ‘Ada yang mau ditanyakan, Windy?’

        ‘Iya.’ Pendek dan cepat saya menjawab.

        ‘Apa tuuuh?’ tanyanya ramah.

        ‘Menurut Bapak, ada hal yang perlu saya ketahui?’ 

Sejenak keheningan kembali tercipta. Saya tak tahu apa yang dipikirkan oleh Pak Ipink waktu itu. Tapi saya rasa, saat itu kalau boleh meninjau ulang keputusan perusahaan, ia pasti akan mengajukan hal itu. Sayang, ia tak bisa mengubah keputusan manajemen untuk menerima saya.

Pak Ipink pun dengan sabar menjelaskan hal-hal yang perlu saya tahu. Termasuk pakaian apa yang sebaiknya saya kenakan. ‘Boleh saya pakai celana pendek?’ tanya saya lagi.

Kembali dia diam sesaat. ‘Aturannya cuma sopan dan rapi kok.’

Saya mengangguk-anggukkan kepala. Menganggap jawabannya pertanda boleh.

Tidak adalah Sahabat Terbaik Saya

Saya tak bohong. Menjadi editor memang salah satu impian profesi saya. Tapi, saya tak punya mimpi jadi editor buku. Apalagi di GagasMedia yang bahkan ketika melamar ke sana hanya satu buku terbitannya yang saya baca. Lainnya, ah, bukan jenis bacaan saya. 

Belum lagi, saya hanya menyiapkan dua lamaran. Satu ke majalah dan satu lagi ke koran. Keduanya saat itu yang nomor satu di Indonesia dari sisi kualitas isi dan penulisan. Lamaran ketiga, memang saya layangkan ke GagasMedia dengan alasan yang sudah saya sebutkan di atas tadi.

Singkat kata, saya tak bekerja di kedua media yang menjadi incaran saya sejak bangku kuliah. Takdir membawa saya bekerja di GagasMedia. Sebuah perusahaan baru  yang ketika saya bergabung baru berusia setahun beberapa bulan.

Tapi, saya memang harus mengucapkan terima kasih kepada kedua media yang telah menolak saya. Kalau saya bekerja di mereka, mungkin saya tak akan seperti hari ini. Saya ingat, HRD salah satu media yang mewawancarai memanggil saya seusai pengumuman siapa saja yang diterima. Lelaki tua itu secara khusus meminta maaf dan mengakui, dialah orang yang menolak saya untuk bergabung di media mereka.

‘Menerima kamu berarti membunuh semua kemungkinan yang bisa kamu ciptakan. Tanpa kamu, media ini sudah besar dan ternama. Kamu hanya akan menggarami lautan. Orang seperti kamu harus bekerja di sebuah perusahaan yang baru akan memulai dan mengembangkannya.’ Dia lalu menyuruh saya membawa lamaran ke sebuah stasiun TV baru yang merupakan saudara mereka.

Pergilah saya ke stasiun TV yang direkomendasikan ini. Lagi saya ditolak. Saya masih ingat apa yang diucapkan oleh pewawancara. ‘Kami sedang tak mencari orang pintar. Kami mencari yang bisa dibentuk.’

Sempurna!

Ditolak itu sakit. Apalagi tanpa tedeng aling-aling sebagaimana yang saya alami. Jadi, ketika saya memenuhi panggilan wawancara GagasMedia, saya menjawab seadanya. Pintar tak laku. Tinggal jujur yang saya punya. Pada kasus saya, saya malah tak peduli apa yang dipikirkan para pewawancara tentang saya. Sejujurnya, saya sempat merasa dunia saya runtuh. Sudah tak ada lagi bedanya bekerja di manapun, pikir saya.

Jadi, bisa dipahami kan mengapa Pak Ipink jauh lebih bersemangat daripada saya yang diterima kerja?

Orang yang mengalami penolakan berkali-kali cenderung menjadi dingin karena itulah cara yang dia tahu untuk melindungi perasaannya agar tidak sakit lagi. Hanya itu cara bertahan yang ia tahu.

Namun, lambat laun, saya belajar bahwa penolakanlah yang membuat saya menjadi lebih kuat dan kian tangguh. ‘Tidak’ kemudian menjadi kata penanda buat saya bahwa ada sesuatu yang perlu lebih saya gali sebelum berubah menjadi ‘Iya’.

Manusiawi dan Bisnis Manusia

GagasMedia mencairkan saya. Ia menjadi sekolah sekaligus rumah untuk saya. Ia menerima saya yang naïf dan telah ditolak ini. Dan juga memberikan kehangatan sebuah rumah dan keluarga untuk saya.

Saya belajar mendengarkan di sini. Belajar menerima dan juga memberi. Belajar tak takut berbeda. Dan belajar apa yang sesungguhnya disebut dengan kerja tim. Lebih daripada itu, GagasMedia mengajarkan saya untuk tetap bermain dan tertawa. 

Namun, pada tulisan ini, tanpa mengabaikan teman-teman GagasMedia yang sekarang, saya ingin mengenang mereka yang dulu merangkul saya. Yang merengkuh saya tanpa keraguan sedikit pun di awal karier saya sebagai editor.

Bekerja bersama F.X. Rudy Gunawan, Denny Indra (sekarang Manajer Produksi Kelompok AgroMedia), dan Jeffri Fernando—saat itu kami hanya berempat—adalah pengalaman yang tak pernah saya lupakan. Mereka menjadi partner bekerja yang luar biasa. Ketiganya menerima keanehan dan kebodohan saya dengan lapang dada. FX Rudy Gunawan yang saat itu menjabat sebagai pemimpin redaksi GagasMedia adalah orang yang hampir setiap hari bertengkar dengan saya berkaitan dengan isi buku. Dan tentunya kekeraskepalaan saya.

Mas Rudy adalah orang yang meyakinkan saya tak perlu takut untuk berbeda. Saya dan dia bisa adu argumentasi sampai mulut berbuih-buih. Tapi setelah itu, kami tetap bisa duduk sambil berkelakar. Jeffri dan Denny adalah dua orang yang mengajarkan saya berkomunikasi dengan hangat. Keduanya adalah teman belajar dan partner bekerja yang luar biasa. Dulu, Denny suka geleng-geleng kepala kalau melihat saya berbicara dengan penulis tanpa babibu. Itu bukan hal buruk, tetapi berkomunikasi dengan penulis membutuhkan seni tersendiri.

Saya pun belajar seni berkomunikasi dan memenangkan hati penulis. Mengamati cara Denny berinteraksi. Denny orang yang sangat ramah dan mudah berbasa-basi. Sangat berkebalikan dengan saya yang cenderung sinis dan tak pandai berbasa-basi. Saya belajar melihat dari kacamata orang lain. Ternyata, menjadi seorang editor tak melulu berkaitan dengan konten dan penulisan. Namun juga memberikan rasa nyaman dan keyakinan kepada penulis serta memberikan ruang lebih untuk proses belajar bersama.

Profesi saya sebagai editor di GagasMedia membuat saya lebih humanis. Mengedepankan logika tanpa kehilangan perasaan. Saya belajar memahami karakter setiap penulis yang saya hadapi dan juga membaca pola pikir mereka. Dan percayalah, karakter penulis itu beragam dan terkadang di luar dugaan!

Di GagasMedia ini, saya tumbuh menjadi editor yang lebih manusiawi. Di sini saya diajarkan bahwa penerbitan adalah bisnis manusia, jadi mana mungkin pertimbangan manusiawi dalam mengambil keputusan diabaikan.

Lebih Baik

Satu malam, saya mengobrol dengan Mas Rudy. Kami sudah beberapa lama tak bertemu sejak dia mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi. Saat itu saya bertanya mengapa sastrawan seperti dia mau membuat penerbitan yang fokus kepada anak-anak muda.

‘Kamu harus ingat. GagasMedia didirikan dengan semangat regenerasi penulis. Kamu boleh melakukan apa pun di Gagas, tetapi jangan pernah melenceng dari semangat kenapa GagasMedia dibangun,’ katanya. Semangat ini yang memang saya pegang sampai sekarang. Dan ini pula yang saya sampaikan kepada teman-teman GagasMedia yang lain. 

Ketika tampuk yang dipegang Mas Rudy dilimpahkan ke saya, itu pula pesan yang melulu dia ulang. Regenerasi penulis. Beri penulis muda ruang seluas-luasnya. Tak akan ada penulis bagus bila tak dimulai dengan memberi kesempatan dan menciptakan ruang belajar.

Saya belajar bahwa menjadi penerbit itu bukan sekadar menerbitkan buku seorang penulis, tetapi juga duduk  dan belajar bersama penulisnya untuk bagaimana menulis dengan lebih baik.

Saya pikir itu kebanggaan saya sebagai editor. Menemukan bakat-bakat baru, membuat seseorang yang awalnya tak yakin bisa menulis menjadi bisa menulis, dan mengonsep sebuah buku. Tentu, saya juga bangga bisa mengedit tulisan seorang penulis ternama. Namun, kalau boleh menjawab jujur, kebanggaan terbesar saya adalah justru melihat penulis-penulis baru lahir.

Kepuasannya tak terkatakan.

      Dalam satu percakapan saya dengan Mas Rudy, ia bertanya, apa yang saat ini ingin saya capai lagi. Saya sudah meraih semua yang saya inginkan bahkan sebelum usia yang sudah saya tetapkan untuk pencapaian itu.

‘Entahlah. Sepertinya saya cuma ingin merdeka, mas.’

Mas Rudy tertawa. ‘Kita tidak pernah bisa benar-benar merdeka, Windy.’

‘Apa yang ingin kamu lakukan sekarang?’

‘Membuat buku yang lebih baik lagi.’

‘Dan memang tak pernah ada akhir untuk yang satu itu,’ katanya sambil menoyor kepala saya. ‘Jaga semangat yang satu itu.’

Di Balik Kata Iya

Saya sempat bertanya kepada Hikmat Kurnia, Direktur Kelompok AgroMedia yang waktu itu mewawancarai saya. 

‘Pak, apa yang dulu membuat Bapak memutuskan menerima saya?’

‘Karena kamu bilang kamu mau bikin buku bagus.’

Saya melongo. ‘Bapak nggak kesal sama jawaban saya waktu itu?’

Pak Hikmat tertawa kencang. Saya suka heran bagaimana ia bisa punya suara yang sangat nyaring dan apakah ia bisa berbisik-bisik agar pembicaraan rahasia tidak terdengar orang lain?

‘Memang waktu itu kamu bilang apa lagi?’ tanya Pak Hikmat. Katanya, ia hanya ingat saya bermain-main dengan kursi putar yang ada di depan mejanya. 

‘Saya bilang buku terbitan GagasMedia jelek-jelek.’

Dia tersenyum lebar. ‘Setidaknya kamu punya definisi, mana yang disebut jelek dan mana yang bagus. Lalu, kamu punya mimpi membuat yang bagus itu.’

Saya tertohok. Ternyata, saya yang bodoh. 

      Pak Hikmat benar. Pada bulan-bulan pertama saya di Gagas, saya berjuang mempelajari apa itu chicklit dan ladlit. Kalau memang ini penerbit yang fokus ke penulis muda dan bacaan anak muda, maka saya yang harus belajar untuk membuat yang bagus itu. Mencari tahu bagaimana membuat chicklit, ladlit, dan bacaan remaja yang bagus. Proses ini memberikan cermin buat saya bahwa selama ini saya orang yang picik. Tinggal di menara gading. Menganggap yang keren itu hanya buku-buku bacaan yang saya baca. Semakin sering saya bertemu penulis muda, semakin mereka membuat saya rendah hati.

Tak akan pernah ada karya hebat lahir dari tangan mereka kalau tak pernah diberi kesempatan. Tugas kami sebagai penerbit ‘menemukan’ mereka.

We don’t run this business to make us and they feel good. We run this business to make us and they do better.

Itu yang saya yakini sampai hari ini untuk menjalankan GagasMedia. Dan saya yakin, teman-teman saya di GagasMedia pun meyakini hal itu. [13]

Jakarta, 4 Juli 2012

*) dan GagasMedia yang menerima saya. Selamat ulang tahun, GagasMedia. Terima kasih sudah menjadi rumah yang hangat buat saya.

**) ditulis dalam rangka ulang tahun GagasMedia yang ke-9 pada 4 Juli 2012

windy ariestanty

Author: windy ariestanty

a writer who loves traveling and falling in love with places she hasn't visited and people she hasn't met yet. she thinks that she is the wind.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *