cerita tentang angin dan kilat

image

Aku tidak tahu harus memulai kisah ini dari mana. 

Ini kisah yang terus aku simpan karena khawatir akan menyakitkan. Akan melukai. Dan membuat satu per satu dari kami berjalan pergi menjauh. Memunggungi satu sama lain.

Namun, mungkin kalian menemukan kisah ini ketika sedang membaca sebuah majalah. Entah majalah yang mana. Mungkin majalah yang cukup gila berani menerbitkannya karena sudah tak ada lagi tulisan yang bisa dibuat sehingga terpilihlah kisah ini untuk dimuat.

Tapi, aku pastikan, kalian tetap tidak akan tahu siapa kami. Juga siapa aku. Ini tetap harus menjadi rahasia. Aku tak akan memberitahumu nama tempat. Juga tak akan memberitahumu nama kami yang sebenarnya.

Aku dan mereka yang aku ceritakan sepenuhnya asing. Anggaplah aku seperti seorang yang tiba-tiba bertemu denganmu di dalam gerbong kereta api, menjadi teman seperjalanan, dan menceritakan hal ini. Kau bahkan tak perlu tahu siapa kami yang sebenarnya. 

Bersiaplah.

Ini kisah yang sangat sederhana. Tentang seorang perempuan yang jatuh cinta. Juga lelaki yang jatuh cinta. Ini kisah tentang jatuh cinta untuk pertama kali.

Tapi sesederhana apa pun sebuah cinta pertama, ia selalu istimewa bukan?

*** 

Dia menatap tajam dari arah bangkunya. Aku yang sedang berdiri di depan kelas menjadi semakin berkeringat dingin. Telapak tanganku terasa lembap. Ini hari pertamaku masuk sekolah baru. Aku, si Murid Pindahan.

Aku sempat merasa agak aneh. Di antara wajah-wajah khas penduduk asli pulau yang bermandikan sinar matahari—berkulit cokelat, berambut dan bermata hitam—ada seorang berambut pirang dengan mata biru. Ia tampak mencolok.

‘Anemoi,’ kataku memperkenalkan diri ketika guru memintaku menyebutkan nama. 

‘Panggilannya?’ Guru berkacamata yang tingginya dua kilan di bawahku bertanya.

‘Moi.’

Hanya dia yang kemudian mengacungkan tangan dan bertanya apa arti namaku. Yang lainnya sibuk berbisik tentang tinggi tubuhku yang menjulang. Untuk ukuran perempuan berusia 16 tahun, tinggi 170 cm kala itu terlalu tak biasa.

‘Dewa Angin dalam kepercayaan Yunani.’

Mata kami berserobok. Dia tak berusaha mengalihkan. Aku semakin panas-dingin. 

Namanya Kilat. Anak orang asing yang jatuh cinta dengan desa kecil di pulau ini, kemudian secara spontan memutuskan menetap. Waktu itu, Kilat masih berada di dalam kandungan ibunya.

Katanya, ketika lahir, hujan deras dan angin bertiup sangat kencang. Kilat menyambar disusul suara petir. Bersamaan dengan gelegar itu ia lahir, dibantu dukun setempat.

Tak butuh waktu lama, entah kenapa, kami cepat akrab. Kilat supel, walaupun kadang sifat argumentatifnya suka membuatku ini membenturkan kepalanya ke dinding agar diam sebentar. 

‘Kenapa kamu tidak sekolah di sekolah internasional yang ada di kota?’ tanyaku sambil memakan es lilin yang kami beli dari warung di pojok jalan. Sore itu kami habis bermain layangan.

‘Orangtuaku takut aku jadi sombong. Mereka tak ingin aku menjadi seperti orang-orang asing yang banyak ada di sini,’ katanya dengan bahasa Indonesia yang bagus. Aku manggut-manggut. 

Kilat kerap memanggil aku dengan sebutan ‘City Girl’. Gadis Kota yang kikuk lantaran setiap kali ia mengajak bermain ke sawah, aku nyaris selalu terpeleset. Ia juga mengenalkan aku kepada saudara laki-lakinya yang lain, bernama Fūjin. Fūjin setahun lebih tua dari Kilat, hasil dari pernikahan terdahulu, antara ayahnya dengan seorang perempuan Jepang.

Aku tak suka dipanggil ‘City Girl’, tetapi mau bagaimana lagi, aku memang berasal dari sebuah kota besar yang gemerlap dan sibuk.

Seperti takdir. Fūjin juga berarti dewa angin. Dia bahkan dewa tertua dalam kepercayaan Shinto. Dan kami bertiga adalah sahabat karib. Fūjin yang berwajah campuran Asia-Eropa, dan Kilat yang sangat Kaukasian. Lalu aku yang berkulit cokelat dengan rambut keriting.

Setiap sore, sehabis pulang sekolah, keduanya selalu mengajakku bermain. Mulai dari sekadar berlari di pematang sawah menuju sungai kecil tempat mereka suka memancing, naik motor ke pantai menunggui mereka surfing, hingga ke lapangan bola bermain sepak bola. Kakiku sering biru lebam. Berbeda dengan Kilat yang kerap mengolok-olok, Fūjin, malaikat pelindungku. Setiap kali aku terpeleset atau nyaris jatuh, tangannya yang selalu terulur duluan. Kilat, justru akan mencemooh dengan mengatakan, ‘Dasar Cewek Kota!’

‘Rese lo!’ sahutku sambil menggenggam tangan Fūjin. Aku suka muka Fūjin yang lonjong dengan sepasang mata sipit yang dinaungi alis tebal. Rambutnya juga dibiarkan panjang dan kerap diikat satu ke belakang. Sekolah kami tak memiliki aturan harus berambut panjang atau pendek. Kami bebas, kecuali urusan pakaian seragam. Katanya, biar tak saling cemburu. Ada baiknya begitu, pikirku. Tapi Kilat tak suka seragam. 

‘Seragam tak cukup meredam kecemburuan sosial! That’s bullshit!’ Kalau sudah berdebat, Fūjin dan Kilat bisa sangat seru. Aku hanya akan melemparkan pandangan mengantuk lalu mulai menggambar.

Hey you, City Girl!’ Ia menarik rambut panjang keritingku. Aku yang sedang duduk di tepi pantai menunggui dia surfing mengibaskan tangan kesal. Hari ini Fūjin tak ikut. Dia sedang berlatih silat. Kilat terkekeh melihat muka jutekku. Semakin dikibaskannya air laut yang membasahi rambutnya ke wajahku.

‘Kenapa sih ganggu mulu?’

‘Suka.’

Dadaku berdesir. Kilat malah nyengir. ‘Kamu nggak suka ya?’ Aku pura-pura tak mendengar dan berkonsentrasi pada kertas gambarku. Tak tahu diri, ia malah mendekatkan wajahnya. ‘Suka aku?’

Aku merasa mukaku memanas. Kilat tak pernah seusil ini. Ini bukan pertama kalinya ia keluar berdua denganku. Memang, kami lebih kerap bertiga. Dia masih cengengesan, lalu tiba-tiba ditariknya lagi rambutku.

‘Jalan ke sana yuk!’ Ia menunjuk ke arah karang. Alisnya terangkat satu ketika dilihatnya aku bergeming. ‘Takut tergelencir karena nggak ada Fūjin?’ Rambut pirangnya bersinar keemasan terkena sinar matahari. Sesaat, aku terpana. Perasaan panas-dingin di awal pertemuan mendadak muncul. ‘Ngeremehin kamu. Aku udah makin jago.’ Aku membuang muka. Berusaha menetralisir. 

I will take care of you.’ Ia tiba-tiba meraih tanganku, berjalan di depanku dengan tangan kiri terulur ke belakang, mengandeng tangan kananku. Jantungku berlompatan. Kilat tak pernah seperti ini. Aku terbiasa dengan sikap cueknya.

Tangan kilat terasa hangat sekaligus basah. Butir-butir pasir pantai menempel di sepanjang tangan dan kakinya. Kulitnya terlihat lebih gelap. Ia bangga sekali dengan warna kulitnya. Namun, sering pula ia menggerutu karena bila lama tak surfing, warna kulitnya kembali ke asal.

Berdua kami mendaki karang. Sesekali ia menoleh ke belakang. Tersenyum simpul ketika melihat ke tangan kami yang tetap bergandengan. Aku jengah, namun ada perasaan hangat menelusup di antara degup jantung yang berlompatan. 

Kami sampai di puncak karang. Samudra terhampar. Di ujung sana, kaki langit bertemu tepi laut. Gemuruh terdengar. Aku dan Kilat melihat ke angkasa. ‘Mungkin sebentar lagi hujan,’ katanya sambil melepaskan genggaman.

Bukannya mengajak turun, Kilat malah duduk. Aku mengikutinya. Bau laut memenuhi penciuman kami. juga samar bau air. Langit tertutup awan kelabu.

Tiba-tiba Kilat mengambil sejumput rambutku. ‘Aku suka hari ini. Aku selalu ingin mengulurkan tanganku setiap kali kamu nyaris jatuh terpeleset.’

Aku memandang ke arah kilat. Mata biru terlihat seperti kaca. Kilat tak suka warna matanya. Dia bilang, warnanya membuat orang bisa menebak isi hatinya. Kilat tak tahu, aku tak pernah bisa menerka isi hatinya ketika melihat ke sepasang mata birunya selama ini. Mendadak tangan Kilat terulur menyentuh pipiku. Sentuhan itu mengirimakn gelenyar tak terkendali. Mendadak, aku merasa kami seperti menyatu. Waktu seolah membeku.

Sebuah teriakan menyadarkan kami. Di tepi pantai, di bawah karang sana, Fūjin melambaikan tangannya. Latihan silatnya sudah selesai, ia menyusul rupanya. Kilat tersenyum. Tangannya menjauh dari pipiku. Ia berdiri dan berteriak ke arah saudara laki-lakinya. ‘Siniiii!!!!’

Tak ada percakapan lagi di antara kami. Perlahan, jarak tak terlihat itu terbentang. Selarik cahaya berkelebat dengan cepat di langit. Kilat menyambar disusul bunyi petir. Rintik hujan turun ketika Fūjin sampai di tempat kami. Aku bergegas hendak berdiri ketika melihat sebuah tangan terulur. Tangan Fūjin. Kemeja kotak-kotak yang dikenakannya berpindah menutupi kepalaku.

Let’s run!’ teriak Kilat. Ia berlari gesit menuruni karang, meninggalkan aku dan Fūjin. 

‘Sialan tuh, anak!’ rutuk Fūjin. ‘Don’t run, Moi.Aku menuruni karang dengan tangan Fūjin menggandeng tanganku. Ketika tiba di bawah, serentak kami mengejar Kilat yang tertawa meledek. ‘Dasar Cewek Kota!’ 

Ketika berhasil mengejar Kilat, Fūjin menoyor kepala saudaranya lalu lari secepat kilat menuju tempat berteduh. Aku dan Kilat tertinggal. Dengan gerakan tak kentara, ia menyentuhkan tangannya ke tanganku yang menjadikan kemeja Fūjin sebagai payung. Sekian detik, kembali waktu berhenti ketika kulit kami saling bersentuhan. Mata biru itu berbicara banyak. Dia benar, mata itu jendela hatinya.

Kilat berlari mengejar Fūjin. Keduanya berkejaran, tertawa dan saling pukul di bawah hujan. Dari kejauhan aku menyaksikan pemandangan itu. menyaksikan kilat dan angin saling melengkapi.

Maka, kuputuskan untuk diam.

***

Tak pernah ada sepatah kata cinta pun terucap dari mulut kami bertiga. Kami hanya saling memandang. Fūjin dan Kilat tetap suka mengencani perempuan yang berbeda. Aku tetap duduk di antara mereka, mendengarkan semua kisah cinta mereka. Sesekali mereka menyelidik tentang lelaki yang mengajakku keluar. 

Tangan Fūjin tetap terulur. Dan di belakang punggungnya, tanganku dan Kilat kadang bergandengan. 

Naik kelas dua, orangtuaku dipindahkan. Aku pergi dari desa kecil itu.. Kadang, aku terkenang kepada mereka dan kerap berdesir ketika merasakan angin dan melihat kilat.

Begitulah kisah cinta pertamaku berakhir dalam diam. Dan memang begitulah orang yang jatuh cinta sendirian. [13]

*)photo taken by @windyariestanty. location: lovina, bali

**) been published in aneka magz (2012)

windy ariestanty

Author: windy ariestanty

a writer who loves traveling and falling in love with places she hasn't visited and people she hasn't met yet. she thinks that she is the wind.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *