I got two messages from two different friends. they asked whether I had ever worried about making a wrong decision. sure, I worry about it but I always let myself make mistakes. what I am worried most is: I do not make any decisions. I prefer to know and accepting that my decision is wrong than doing nothing. don’t you think that life is about making decision time by time?
Author: windy ariestanty
mengapa
IBARA Nozaki, seorang gadis keturunan Jepang. Badannya kecil dan bertenaga kuat. Usianya belum genap 16 tahun. Kedua orang tuanya telah berpisah. Sang ibu meninggalkan ayahnya. Lelaki yang sangat tergila-gila pada kebudayaan dongeng. Lelaki yang pergi meninggalkan Jepang menuju Inggris, demi obsesinya terhadap dongeng. Baginya, Inggris adalah negeri dongeng. Di mana waktu mengalir dengan lambat, manis, dan santai.
Ibara belum paham dengan mimpi. Ataupun obsesi. Dongeng merebut mimpi tentang keluarga yang ada di angannya. Sejak orang tuanya bercerai, ia tak lagi pernah bertemu dengan ayahnya. Ibara tumbuh menjadi gadis pemarah dan pemberontak. Membentengi diri dengan sikap keras. Hingga suatu hari, ia pergi menuju Rosegate, sebuah desa di Inggris. Rosegate bagi ayahnya adalah Tir Na Nog, negara dalam mitologi Inggris. Negara kemudaan abadi, sebuah tempat di mana kita tidak akan pernah menjadi tua.
Bagi Ibara, itu semua hanyalah shangrilla. Sesuatu yang utopis. Sebab, kebahagiaan yang manis hanyalah sihir negeri dongeng. Ibara takut bermimpi, takut berharap. Satu per satu yang dianggapnya berharga lenyap. Hal yang seharusnya tak terjadi, justru terjadi. Ibara menjerit. Ibara berteriak. ‘Mengapa?’
Lihatlah Ibara, terseok menahan sakit. Dan Ibara adalah kita. Membenci diri sendiri, yang tak mampu melakukan apa-apa. Hanya bisa marah-marah. Ketika kebahagiaannya terenggut. Atau ketika segala sesuatu tak berjalan sebagaimana yang kita mau. Mempertanyakan, ‘Mengapa’ dan berharap ada seseorang yang memberitahu jawabannya. Ibara (kita) lupa. Ada begitu banyak jiwa yang sedang mengerang. mempertanyakan, ‘Mengapa’ hidup terasa tak adil untuk mereka. Lalu…marah dan bersedih….
Mengapa seorang pemuda berusia 25 tahun harus tewas? Mengapa Amerika harus ngotot menyerang Irak? Atau, mengapa persoalan lumpur di Sidoarjo tak jua menemukan titik terang? Mengapa saya jatuh cinta lalu kemudian harus berpisah? Mengapa setiap hari televisi di seluruh dunia mengalirkan berita sedih? Mengapa pada hal yang buruk, bertumpuk lagi ketidakbahagiaan? Lalu, mengapa harus aku (kita) yang mengalaminya?
‘Mengapa’ dibanding dikatakan sebagai pertanyaan lebih mirip perasaan marah. Saat tidak mengerti kenapa terjadi sesuatu kesengsaraan, tidak dapat melakukan apa pun dengan kekuatan sendiri, karenanya manusia berteriak, ‘mengapa?’
‘Mengapa’ lebih dari sekadar rasa ingin tahu. Sebuah pertanyaan yang acapkali melahirkan jawaban yang tidak absolut. Bahkan mungkin, tak pernah ditemukan jawabannya. Ungkapan rasa marah yang berbaur dengan perih dan rapuh. Terloncat dari bibir manakala kita tak lagi memiliki kekuatan untuk berbuat apa pun. Nyaris putus asa, namun belum ingin menyerah.
Bentuk ekspresi keraguan, kekecewaan. Kebingungan yang diaksarakan. Tetapi, pada satu titik tertentu, ‘Mengapa’ adalah awal sebuah jiwa melakukan refleksi. Memandang ke dalam diri. Berbicara dengan diri sendiri. “Mengapa” ibarat cermin yang memantulkan bayangan kita. Membiarkan kita menanggalkan satu demi satu topeng yang terpasang di rupa. Hingga akhirnya, kita berdiri telanjang dalam kejujuran.
Seperti Ibara, selalu ada hari di mana saya acap bertanya ‘Mengapa’ tanpa menemukan jawaban. Pernah, berhari-hari saya larut dalam kemarahan. Saya lupa mengajak bicara jiwa saya. Sampai satu ketika, ia merangsak maju, memaksa saya mendengarkan apa yang ingin ia bicarakan. Jiwa, dengan sebuah proses yang tak bisa digambarkan menggunakan kata-kata, akan menuntun kita menemukan jawaban dari ‘Mengapa’. Entah melalui buku, papan pengumuman, siaran radio, atau seorang teman yang tiba-tiba mengoceh sesuatu. Ia bekerja dengan cara yang luar biasa. Saya percaya, jiwa tak pernah berbohong. Syaratnya hanya satu. Sadarilah, bahwa kita bukan sekadar tubuh yang berisi jiwa. Namun, kita lah jiwa itu yang bersatu dalam gerak semesta.
Suatu hari, kita akan bertemu seseorang atau mengalami sesuatu yang memberitahukan kepada kita jawaban dari pertanyaan ‘Mengapa’. Seseorang yang menyebabkan jiwa kita membuka diri ke luar. Jiwa akan memberitahu apa yang kita rasakan, berusaha mengerti dan dimengerti orang lain, dan ingin mengerti diri sendiri.
Lalu, dengan kekuatan sendiri, perlahan, kita akan menambahkan hal yang bisa kita lakukan satu demi satu. Dengan begitu hal yang menyedihkan atau membuat marah akan bisa berkurang. Temukan mantra ajaibmu. Kata-kata penyemangat yang terdengar bagaikan mantra sihir. Entahlah, kadang saya percaya bahwa sihir itu mungkin benar-benar ada. Bahkan, sihir selalu ada di dalam hati manusia. Sebuah sihir jiwa. Mengapa saya percaya? Sebab, saya yakin, bahwa hati manusia bisa digerakkan oleh kata-kata. [13]
*) ini adalah sebuah tulisan usang yang saya tulis sewaktu masih kuliah pada 2000 untuk kolom di majalah dinding ‘radikal’ milik lpm dianns.
**) foto diambil oleh @windyariestanty
i’ll pass on this book to my daughter someday. this is a book she should read. (Taken with Instagram)
if life were easier, i guess, it would be less fun and not be that challenging anymore for me
A Journey Called Life
thank you for your reviewing 🙂
June 28 – Banyak penyebab kita melakukan sebuah perjalanan. Mungkin karena tugas, mengunjungi teman atau kerabat, sekedar melepas penat, atau mencari sesuatu. Ya, mencari sesuatu, entah yang kita sudah mengetahui apa yang kita cari ataupun belum. Sedikit banyak, hal itulah yang tertuang dalam travelogue karya penulis Windy Ariestanty, Life Traveler: Suatu Ketika di Sebuah Perjalanan. Sebuah buku yang saya dapatkan dari seorang sahabat dalam sebuah perjalanan pulang dari Jogjakarta.
Life Traveler
Windy Ariestanty, seorang editor pada grup penerbit GagasMedia, menuliskan pengalamannya dalam melakukan perjalanan ke berbagai tempat di seluruh dunia. Tercatat setidaknya 10 negara dan 3 benua masuk dalam travelogue ini. Mulai dari perjalanan di Indochina (Malaysia, Vietnam, Kamboja, Thailand), Eropa (Jerman, Swiss, Belanda, Rep. Ceska, Perancis), hingga Amerika Serikat; semuanya tertuang secara rinci. Layaknya travelogue lainnya, Life Traveler memuat banyak tips dan juga informasi tempat-tempat yang harus dikunjungi oleh pelancong jika mampir ke negara-negara yang disebut di atas. Dilengkapi foto-foto dan beberapa ilustrasi berupa lukisan, buku ini terasa begitu hidup, dan menghadirkan pengalaman kepada pembacanya serupa dengan yang dirasakan Windy saat berada di tempat-tempat tersebut. Namun, bagi saya sendiri, yang membuat travelogue ini memiliki nilai lebih adalah, tidak hanya memberikan informasi akan tempat-tempat yang dikunjungi, Windy pun memasukkan pelajaran-pelajaran hidup yang didapatnya dari perjalanan tersebut. Kemampuan Windy dalam mengamati dan berinteraksi dengan manusia-manusia di perjalanannya, itu yang menjadi titik penguat travelogue ini. Tentang konsep pulang, rumah, pencarian, dan konsep persahabatan; semuanya terangkum manis, mengalir, terasa hangat dan dekat dengan saya sebagai pembaca. Banyak dari bagiannya menjadi pengingat bagi saya akan kehidupan saya sendiri.
pick up here: kopi asli indonesia (the indonesian original coffee) #photooftheday (Taken with Instagram)
cinta tak bersyarat, cinta tak berbatas
Lelaki di sampingku mencintai perempuan mungil itu. Sejak pertama binar matanya melihat seraut wajah yang terpejam di kasur tua rumah sakit, ia tahu, detik itu juga ia jatuh hati tak berdasar. Bahkan rela lesap untuk cinta tanpa batas. Tanpa syarat.
Ia resah bila menangkap isak tangis yang keluar dari bibir mungil berwarna merah jambu itu. Tapi, sebagian dari hatinya lega ketika mendengar pula raungan yang membahana, itu tanda mereka masih akan terus bersama. Dan diam-diam, dalam hati, lelaki itu merapalkan doa yang diselipkannya ke balik bantal sebelum tidur, tentang harapan dan mimpi untuk bisa bersama lebih lama lagi. Menyaksikan perempuan yang dicintainya melewati semua penanda waktu yang dianggap penting.
Ia mendadak ingin hadir di setiap momen berharga perempuan mungil itu. Ia tak ingin ketinggalan apa pun tentang perempuan itu. Bahkan tidak untuk sedetik saja.
‘Aku benar-benar jatuh hati. Bukan sekadar jatuh cinta,’ akunya. Ia memandang lekat perempuan mungil yang rambutnya kian tebal mengikal—yang kerap ia cuci dengan merang. Perempuan yang dipandangi sibuk sendiri di meja seberang. Ia sibuk dengan teman-temannya. Tertawa dan sesekali berteriak kegirangan atas lelucon dan kelucuan yang dibuat bersama kawan.
Lelaki itu tersenyum. Pandangannya tak lepas. Pandangan penuh sayang. Pandangan yang jarang ditemui ketika ia berada di jalanan memacu sepeda motornya, mengantar penumpang. ‘Aku rela menukar apa pun untuk tetap membuat ia tersenyum,’ katanya pelan.
Aku melemparkan pandangan ke seberang. Seorang lelaki mendekati perempuan mungil itu, menarik pita merah yang mengikat rambut hitam ikal perempuan itu. perempuan mungil berteriak. Lelaki usil itu terkekeh, senang mendengar teriakan dan wajah bulat telur yang cemberut.
Refleks, aku melirik ke lelaki yang ada di sebelahku. Kedua tangannya yang menggenggam jeruji pagar, tempat kami mengamati perempuan itu dari kejauhan, terkepal kencang. Ia seperti menahan diri agar tak menghampiri lelaki itu dan menggamparnya.
Aku terkekeh kecil menyaksikan itu. ‘Dia akan baik-baik saja.’
Lelaki itu tak memindahkan pandangannya, tetapi tangannya sudah tak lagi terkepal. ‘Aku berharap ia tak pernah patah hati.’
‘Kau bermimpi. Bagaimana kaubisa mengantisipasi itu semua. Kaubisa melindunginya dari rasa lapar dan menjauhkan dia dari kekurangan secara materi. Tetapi urusan hati, tak ada pelindungnya,’ sahutku.
Seandainya, hati memiliki alat pelindung semacam kondom. Mungkin lelaki yang duduk di sebelahku ini tak akan berhenti memacari dan mencintai semua perempuan di muka bumi. Hingga satu hari ia bertemu kegagalan dalam mencintai.
Aku masih ingat isak yang ditahannya ketika mengabarkan, ia tak mampu mempertahankan hubungan dengan seorang perempuan yang dicintainya. Perempuan yang dengannya ia bermimpi tumbuh tua bersama cinta dan waktu. Nyatanya, mereka berhenti saling mencintai. Atau mungkin cinta itu saja yang tak lagi sama rasanya.
Perempuan itu meninggalkannya. Meninggalkannya begitu saja. cinta tak cukup untuk kita bertahan hidup, kata perempuan itu.
Luka itu dibawanya. Ditimbunnya dalam gelap malam. Pada kertas origami berwarna-warni yang kerap kulihat berserakan di meja ruang tamunya, kusaksikan ia melarung harapan. Kertas itu dilipatnya menjadi perahu, dilayarkannya di parit kecil depan rumah yang airnya berwarna cokelat dan tak jarang mengeluarkan bau tak sedap akibat sampah yang tersendat.
Ia melarung harapan itu bersama perempuan mungil yang sedang ditatapnya lekat-lekat, seolah khawatir ia lenyap dari pandangan.
Luka itu belum sembuh. Setiap kali memandang si perempuan mungil yang kini menjadi pujaan hatinya, lelaki itu kian terlihat rapuh. ‘Aku hanya bisa pasrah para perasaan ini. Aku rela menjadi alas kaki untuk kebahagiaannya.’ Tak kusangka, sahabatku, yang dulu gemar berganti perempuan, kita menyerahkan seluruh hidupnya kepada perempuan yang sedang asyik sendiri bersenda gurau di balik pagar besi berkarat yang meninggalkan serbuk merah kecokelatan di telapak tangannya.
Kuakui, perempuan mungil memiliki wajah yang mirip perempuan yang dicintainya setengah mati. Yang membuatnya terseok-seok. Meluluhlantakkannya hingga tinggal serpihan. Namun, tak pernah kulihat tatapan seintens dan setulus itu. Semurni itu dan sepenuh cinta itu dari sepasang mata yang pernah sangat jalang. Bahkan tidak kepada perempuan yang diaku-aku ia cintai.
‘Aku jatuh hati. Kautahu, aku jatuh hati. Semakin aku menghabiskan waktu bersamanya, semakin aku takut ia akan pergi dariku suatu saat nanti,’ keluhnya. Ia bilang, ia tak sanggup membayangkan kehilangan yang seperti itu. kehilangan perempuan mungil itu dalam hidupnya. Itu kiamat, baginya.
Perempuan mungil yang memiliki mata bulat bola pingpong itu adalah cinta terbesar yang pernah ia punya. Ia rela menjadi hulubalangnya, atas nama cinta yang tak bersyarat.
Aku tergagu dalam gugu.
Suara yang memekakkan seantero penjuru gedung membuat kami terjaga. Bergegas, aku dan dia bergerak ke sisi samping pagar. Seorang lelaki tua membuka pintu pagar lebar-lebar yang segera diserbu makhluk-makhluk kecil.
‘Papa!!!!’
Tangan lelaki itu terentang lebar saat ia melihat pemilik suara itu berlari ke arahnya. Perempuan mungil memburunya. Masuk ke dekapan lelaki itu. Dekapan yang paling menghangatkan dari lelaki yang paling tulus mencintainya. [13]
*) terinsipirasi dari surat harri gibran untuk putrinya: mijil. Aku menyukai cara mereka saling mencintai.
**) foto diambil dari koleksi pribadi harri gibran.
the difference between good writers and bad writers by jeff goins
The difference between good writers and bad writers has little to do with skill. It has to do with perseverance.
Bad writers quit. Good writers keep going. That’s all there is to it.
Good Writers
Good writers take time to write. They craft and re-craft a piece. They spend hours and days, revising. They take criticism and feedback, listening to both the external and internal voices that drive them.
And they use it all to make their writing better.
They’re resigned to the fact that first drafts suck and that the true mark of a champion is a commitment to the craft. It’s not about writing in spurts of inspiration. It’s about doing the work, day-in and day-out.
Good writers can do this because they believe in what they’re doing. They understand this is more than a profession or hobby. It’s a calling, a true vocation.
Good writers are perfectionists, but they’ve learned the discipline of shipping.
Bad Writers
Bad writers don’t understand this, and that is precisely what makes them bad writers. They presume their writing has achieved a certain level of excellence, so they are closed off to the concept of editing or rewriting.
They can seem haughty, prideful, and arrogant. But really, it’s laziness and fear (mostly fear). Why don’t they edit? Why don’t they write ahead? Why do they give into the myth of the overnight genius? Because they’re afraid of putting the work in — and failing.
As a result, their work is scattered and disconnected, not nearly as good as they think.
How to be Different
I meet a lot of people who are decent writers but think they’re great. I used to be one of them. Stubborn and pig-headed, I didn’t want to change. I didn’t want to grow. I wasn’t that good.
When I ask people to rewrite a guest post or make suggestions on how to improve their writing, they get defensive. Or more often the case, I never hear from them again. It is a rare occasion that I hear from a writer who asks for feedback andmeans it. Many want to get together for coffee; few want to write.
A good writer is humble. Regardless of skill, he is committed to seeing the writing process through to completion. No matter how grueling or hard, he will write. And he will get better.
So what can you — the aspiring writer with something to say — do?
Make A Choice
Choose to be different. Keep going when others do not. Go the extra mile that most won’t go. Be amazing by persevering.
Take the crap job that pays nothing. Offer to be someone’s understudy or apprentice. Put the hours in, pay your dues. It will pay off. But you will have towork.
Don’t coast on talent alone. Let it remind you of the responsibility you have tohonor your gift. And if you’re not that good, well here’s the good news: you can get better.
You can outlast those who are lucky and out-work those who are lazy.
This all begins with humility. Which really means a willingness to listen and change. To do the work and become a professional.
If you do this, if you take the time to make your work great by never settling for good enough, it will make all the difference.
So start persevering today.
*) this article is written by jeff goins.
a light to guide you #lucerne #switzerland #photooftheday (Taken with Instagram)
once more, learning how to love the beach
I stopped to like the beach tens of years ago when I found a little boy’s dead body that was floating in the sea and I had to swim ashore while carrying him.
But, as I wrote in The Journeys 2, living in Indonesia and avoiding the beaches is a big loss. There are so many beautiful beaches and incredible underwater sceneries stretching from Sabang to Merauke in this world’s largest archipelago.
Officially, I started the journey to find my lost passion about beaches in April 2012. After hunting for the shooting stars at Candi Dasa, Karangasem, Bali, and then crossing Lovina (Singaraja, Bali) to capture dolphins at sunset, I entrapped myself in two small Gili Islands in Lombok for three days: Gili Trawangan and Gili Air.
Trying to love something after a long time deciding not to love it, was not easy at all. I was dying. On my first day in Gili Trawangan, I couldn’t stop cursing my stupidity. The decision to go to Gili Islands was a big mistake for me. I hated the sea breeze that felt so sticky on my skin and smelled fishy. I hated the sun that shone too bright so I had to squint my eyes and immediately protected myself from it—since I have a severe allergy to sunlight. And, what I hated most was: the feeling of being not excited that attacked me.
On my first day in Gili Trawangan, I struggled to conquer all those hatreds and tried to find at least one reason to love the beach again. And for sure, on the scale from 10 to 100, I failed, 100%.
The next day, I made up my mind to move to Gili Air. In Gili Air, while the others did water activities, such as snorkeling, diving, sunbathing, and surfing, I just took a walk, wandered the island and watched the local people do their daily activities. I sat under the tree for hours, looking at the sea and fishermen who were pulling their nets. Around 3 pm, I went back to Gili Trawangan and pedaling my bike to the west side of the island to capture the sunset.
I thought I had made little progress on my second day and ended up having reddish spots from face to legs because of my sunlight allergy. And, I couldn’t sleep because my body felt like being burned. Damn it!
I woke up earlier and felt more excited than I did two days before. At 5 am, I rode my bike to the east. I desired to wait for the sun, which rose from the back of Mt. Rinjani.
That morning, when the day was still dark and only a slight of orange light seemed to color the clouds, I was there, sitting on the beach with a-no-name cat. We sat in silent. From my camera’s lens, I looked at the beach and sky without any motions. The sea looked so tranquil. The spider-boat swung quietly. Slowly, the sky’s color started changing. My finger pushed the button of two cameras and Iphone alternately without stopping. When the cat meowed because I almost stepped on his tail, I just realized, I forgot to breathe and blink as well during the moment.
In the morning of my day three, I started to enjoy what the coast had. Even though the sun was getting brighter, I didn’t walk away from the beach. I began to dare to soak my feet in the sea water. Surprisingly, I found the small waves that crashed on the shore looked so pretty and felt so gentle. The stranded seaweed looked so glowing and the small rock trails looked brave to fight against the water flow. When I stared into my left, I saw an old woman wearing the blue veil and floral sarong, walking together with a child. They seemed so peaceful. I looked up to the bridge, there was a man riding the bike with a boy on his back. They all enjoyed the morning sun together as if it was a special moment in their life.
What a lovely simple ritual morning at the beach yet indescribable. Simply beautiful.
Suddenly, a thought jumped into my mind. The scariest thing about deciding not to love something anymore was not hatred or dislike, but giving no attention. For tens of years, I didn’t put any attention to the small things like those I had found in that morning on the beach just because I decided not to love them.
I didn’t go swimming in the sea, nor diving and snorkeling. I just let the sea water lick my feet. I experienced the concept of reconciliation with the sea though. It was enough for beginning.
I take a baby step. Tomorrow, I will learn to fall in love again with the vast blue ocean. [13]
*)all pictures are taken by @windyariestanty. location: lovina, gili trawangan, gili air.