sebuah surat hangat dari paris


Dear Windy,

Selamat malam dari Paris.

Apa kabar? Sedang menulis tentang apa sekarang, Windy?

2 Hari yang lalu Mar mendapat tamu yang sudah kenal Mar dari buku Windy. Wah, pengalaman istimewa bersama tamu yang baru saya salami tetapi sudah tahu semua rahasia hati Mar karena buku Windy.

Tamu ini , wanita muda, bilang dia senang saat tahu Mar yang di buku Windy akan jadi pemandunya.

Mar sangat bersyukur pada Windy dan dapat kesempatan bertemu dengan Windy , tetapi yang paling menyenangkan Mar adalah bahwa tamu ini bilang buku Windy laris manis dan jadi bestseller! WAUW BERITA GEMBIRA!!!!

Betapa senang Mar mendengar itu! Semoga selalu sukses ya Windy. Ingat, selalu menulis dengan hati ya!

Januari kemarin kami kembali ke Ranah Minang untuk melukis. Kali ini kami membawa bahan lukisan. Mar bahagia sekali bisa melukis keindahan Indonesia yang saya cintai. Terlampir salah satu foto saat melukis dan foto saat bahagia di rumah gadang.

Perasaan dan cinta Mar untuk Indonesia masih sama dan masih sedang mati rindu di Paris sesudah pulang dari Sumatra. Makin lama dan makin sering ke Indonesia, makin dalam cinta saya ini sampai kembali ke Paris terasa seperti pergi merantau.

Ampun rindunya ke keluarga saya, termasuk Windy.

Bagaimana dengan Windy? Doa Mar baik-baik saja kabarnya.


Salam hangat dari Paris,

Mar





penyalamatahari: ulik #editorstory bersama sundea

saya mencandu deadline.

buat saya deadline adalah teman terbaik saya, yang membuat saya melakukan pencapaian-pencapaian. saya sempat mengobrol tentang hal ini dengan sundea dari salamatahari.

kalau kalian sedang berjalan-jalan dan kebetulan lewat atau singgah di rumah saya ini, silakan menguping obrolan kami tentang kerja seorang editor di http://www.salamatahari.com/2012/04/editorstory-windy-ariestanty.html

ah! dan jangan ragu untuk masuk ke rumah ini. pintunya tidak saya kunci. jendela pun saya biarkan terbuka. saya tahu, mungkin seorang pejalan akan singgah di sini untuk rehat sejenak sambil berbincang.

salam hangat dari si rumah 13.

DATE A GIRL WHO WRITES

DATE A GIRL WHO WRITES

tentang pertemuan

Saya menyukai pertemuan. Juga persimpangan di perjalanan yang memungkinkan hidup saya memiliki sedikit irisan dengan manusia lainnya. Sekecil apa pun, tetap saja, itu kisah tentang manusia yang saling bersitatap.

PERTEMUAN selalu menyenangkan. Saya menyukainya. Menyukai keragu-raguan ketika memutuskan untuk berbagi meja dengan orang asing. Menyukai kekikukan memulai percakapan dan menduga-duga hubungan macam apa yang kelak terbangun. Menjadi kawankah atau sekadar orang asing yang bertemu dan berbincang di perjalanan. 

Saya selalu menyukai itu.

Ini bukan soal membunuh waktu. Atau perkara mendapatkan teman. Ini soal membuka diri. membiarkan sesuatu yang asing masuk dan mengejutkan saya. Juga soal keluar dari kotak nyaman, asyik dengan diri sendiri.

Kisah manusia-manusia yang bersitatap itulah Life Traveler. Dalam perjalanan saya menuliskannya, ia memilih sendiri rohnya. Memutuskan sendiri kisah yang ingin ditulisnya. Kisah tentang manusia-manusia di dalam perjalanan. Kisah menemukan. Kisah ditemukan. Kisah pertemuan. 

Awal menulis Life Traveler, tak saya niatkan seperti ini. Bahkan saya sebenarnya belum tahu, akan ditulis dengan cara apa dan sudut pandang apa yang saya pakai. Saya hanya tahu, harusnya dia, saya tulis dengan menyenangkan, tak memberatkan. Namun, kisah saya menemukan tulisan usang yang di dalam Life Traveler diletakkan di Bab 18 menjadi sebuah sebuah titik balik, pintu masuk.

Ada kisah yang menunggu, rindu untuk bertemu, dan membuat pertemuan-pertemuan dengan yang lain. Saya terkenang kepada rasa-rasa yang saya alami pada masa-masa itu. Perasaan sendirian, penasaraan, kebahagiaan mendapatkan teman, dan kehangatan keluarga di sebuah tempat yang jauh dari rumah. 

Delapan tahun lalu, sejak pertemuan saya dengan nenek itu di bandara, sekali lagi, dengan cara yang lain, dia menemukan saya. Kembali memberikan jawaban dengan cara berbeda. 

Saya menemukan kembali jalan pulang itu.

***

BAGI seorang penulis, hasil persetubuhan dengan kata-kata adalah anak immortal. Ia menjelma ibu bagi karyanya. Saya mengamini. 

Namun, kali ini, akan saya ceritakan sebuah rahasia. Rahasia besar antara saya dan dia—Life Traveler. Bahwa dalam proses kreatifnya, justru sayalah yang dikandungnya. Sayalah yang dilahirkan olehnya. 

Katanya, benih yang memilih sendiri siapa ibunya. Dari rahim mana ia ingin dikandung. Dan saya tanpa sadar memilih dia sejak bertahun-tahun lalu lewat tulisan usang yang masih tersimpan rapi.

Dialah rahim tempat saya bergelung selama ini dalam suhu yang sehangat rongga mulut. Dalam selaput amnionnya, saya tumbuh. Bertahun-tahun, plasentanya memberi saya makan. Memungut setiap detak nadi dan mencuri sari pati untuk siap menghadapi dunia di luar sana. Ia memberi saya hidup yang harus dirayakan.

Ia menunggu saya siap. Membiarkan saya melakukan banyak kesalahan. Mengizinkan saya belajar dan memahami ketika tak tahu apa-apa. Ia tak mendikte, tetapi menuntun saya menemukan jawaban lewat penatapan. Ia menciptakan ruang-ruang pertemuan kecil yang menguarkan aroma musim panas. Ia meminta saya mengizinkan siapa pun bertandang. 

Di sana, saya menemukan cerita. Kisah-kisah yang harus diseduh. Seperti si Nenek yang menyeduhkan secangkir teh pada malam musim dingin itu dan membuat pertemuan kami menjadi abadi. Yang membuat saya tersadar, sahaja bukan sekadar. Makna luar biasa berumah dalam sederhana. Cerita berjatuhan dari langit. Saya hanya perlu menadahkan tangan dan belajar melapangkan wadah.

Agar bisa menampung lebih, maka saya belajar memberi lebih. 

Life Traveler mengizinkan saya mengalami proses ‘kehamilan’ yang tak biasa. dari benih yang bahkan tak pernah saya sadari hingga kemudian peran itu bertukar. Saya tak lagi menjadi ibunya. Bukan saya yang menatahnya. Bukan saya yang melahirkannya. Justru sayalah yang menjelma benih. Sayalah yang ditatahnya. Sayalah yang dituntunnya untuk memungut setiap remah kecil tadi dengan menyediakan wadah lebih besar.

Ini tentang manusia yang bersitatap. Yang mau saling memandang dengan mata bertemu. 

*** 

LIFE is about meeting strangers in half way. Life Traveler yang melahirkan saya membawa banyak pertemuan baru di dalam hidup saya.

Buku ini mengajak saya bersua lebih banyak manusia. Mengantarkan saya dari satu pertemuan ke pertatapan lain. Ia juga mengajak saya bertemu dengan batas yang belum pernah saya kenali di dalam diri saya. Mengantarkan banyak kesempatan baru dan menantang saya melakukan pencapaian lain. Namun lebih kerap, ia membuat saya belajar lagi dari awal. Mengosongkan wadah.

Saya dilahirkan kembali oleh Life Traveler.

Hari ini, ketika angin berembus dengan kencangnya, perempuan itu pun melahirkan saya. Ia sudah lama tak bersama saya. Kami sudah lama tak pernah bertemu di ruang rumah. Ini terima kasih saya untuk dia. Perempuan itu. yang mengizinkan saya berdiam dalam rahimnya. Yang menjadi medium saya mengenal dunia. Menjumpai hidup.

Merekalah para ibu yang saya pilih. Yang melahirkan saya secara fisik, yang kemudian melahirkan saya kembali lewat kata-kata yang menjelma. Tak pernah cukup terima kasih.

Juga terima kasih, untuk perjumpaan kita. Kamu dan saya. Terima kasih sudah menyertai saya. Menerima saya.

Saya tahu, pertemuan adalah pertanda kehilangan yang datang lebih awal. Perlahan, saya harus menjauh dari Life Traveler. Bersiap untuk pertemuan yang baru, dan kehilangan yang segara menyambut. Mungkin bukan kehilangan, tetapi pelajaran merindukan dan hidup dengan membuat kenangan yang bisa dituliskan. Dengan begitu, kita abadi.

Terimalah kelahiran saya kembali.

***

INI kisah tentang manusia yang bersitatap. Tak perlu ragu menyapa, bila kita berpapasan. [13]

*) Ubud, 3 April 2012. Selamat bertemu 33.

**) photo taken by @windyariestanty