Biasanya, selagi kebanyakan anak seusiaku tidur siang, aku akan mengendap-endap keluar dari jendela, lalu merayap ke loteng lewat sela sempit antara rumah kami dengan bangunan tetangga. Sela sempit itu memiliki undakan-undakan yang memungkinkan aku bisa sampai ke loteng tanpa terlihat siapa pun, terutama Mantet. Aku akan duduk tenang di atap rumah sambil menikmati sultana dan membaca komik. Jika dari arah lapangan tenis di belakang penjara anak yang bersebelahan dengan rumahku sudah terdengar suara riuh orang berlatih tenis, aku akan segera turun. Di depan pintu dapur, Papa sudah siap bersama raket tenis. Aku akan mengekorinya, ikut main tenis sebentar, lalu segera sibuk bermain dengan kawan-kawanku di penjara; anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan sedang menjalani masa hukumannya. Pada sore hari mereka akan keluar sel untuk membersihkan pekarangan dan berolahraga.
Kalau sedang tak pelit, aku membawa komik dan kue-kue hasil jarahanku. Aku belah-belah agar bisa dibagi dengan mereka. Obrolan kami ya obrolan polos anak-anak. Aku pernah juga bertanya soal apa yang mereka lakukan. Ada yang membunuh, memerkosa—kata Pak Polisi aku memperkosa. Aku cuma ingat melakukan adegan di film yang kutonton, mencuri sepeda, dan ada yang katanya ditinggal begitu saja sama orangtua. Beberapa sudah waktunya keluar, tetapi pada hari kebebasannya, tak seorang pun menjemput mereka. Jadilah mereka tetap tinggal di sana dan membersihkan penjara.
‘Aku mencuri kue-kue ini.’ Ada satu sore aku membuat pengakuan kepada mereka. Kue-kue Mama sebentar lagi habis dan tamu pun mulai jarang berdatangan.
‘Dari?’ tanya salah satunya.
‘Mamaku.’ Aku nyengir, merasa berhasil mengadali satu dunia. ‘Tapi hanya yang satu ini.’ Potongan-potongan kecil kue pun hilang ditelan mulut mereka.
‘Kau tidak dipenjara?’
‘Aku, kan, pencuri ulung!’ Aku nyombong ke kawanku si pencuri sepeda.
‘Ah! Pasti ibumu sengaja diam saja supaya kamu tidak dipenjara.’
Kawan-kawanku kembali sibuk menyapui halaman penjara anak, aku duduk di pinggir selasar sambil melihati mereka bekerja, kadang sambil membacakan cerita keras-keras dari buku yang kubawa. Kalau Papa sudah memanggil, aku segera bangkit dan pulang. Besok aku bisa datang lagi atau juga tidak kalau bentrok dengan jadwal les.
***
SALAH satu hal yang paling aku sesali setelah Mama meninggal adalah tidak bisa lagi makan sultana buatan Mama. Kakakku yang menyelamatkan buku-buku resep kue Mama juga tidak menemukan resep sultana itu. Dia tampaknya belum sempat mencatatkan resep itu ke buku. Puasa hari terakhir, Papa mengajak kami berkumpul. Dia bilang Lebaran pertama tanpa Mama tak ada kue di rumah kami. ‘Kalian mau bikin kue?’
Kami membacai resep-resepnya dan menganggap itu semua terlalu sulit. Akhirnya diputuskan membuat bolu pandan dan cheese stick yang dirasa-rasa gampang. Kami tak tahu cara bikin selai nanas, tidak tahu bagaimana membuat isian kue sultana. Tugasku selama ini hanya membuat 6-8 tusukan di sultana dan dengan ujung gunting mengguntingi kue nastar agar ketika selesai dipanggang nastarnya berbentuk mirip nanas.
Jadilah pada malam takbir itu, kami berempat: Papa, kakaku, aku, dan adikku, duduk di lantai dapur dan bersama-sama membuat apa yang kami bisa. Aku dan kakakku mengintip jendela oven, bertanya-tanya kenapa bolu kami tidak kunjung tinggi mengembang. Padahal jariku sudah berdarah-darah karena susah payah memarut dan mencampur daun suji dengan daun pandan agar hijau dan wanginya kuat, persis bolu buatan Mama. Kakakku sebal, matanya berkaca-kaca. Dia bilang bolu itu bantet pasti karena aku tidak mengocok adonan dengan benar.
‘Aku pengin Kue Delapan Jam.’ kakakku menatapi oven dengan sepasang mata basah.
‘Bikinnya susah! Aku nggak mau delapan jam di depan oven.’ Aku menjawab cepat. ‘Boleh kita beli biskuit Monde saja supaya punya kue, Pa?’ Aku bisa merasakan tatapan tajam kakakku karena kesal dengan reaksiku.
Papa berdiri memandangi kami. Ia mengambil bolu pandan bantet lalu memakannya. ‘Ini enak, kok.’
Sejak kepergian Mama, tak ada lagi kue-kue dan es buah di rumah kami ketika lebaran atau Natal. Oven tak pernah lagi naik kompor, semua perkakas kue tersimpan rapi di lemari, dan ibu-ibu sekitar tak lagi menjejali rumah untuk belajar bikin kue. Tak pernah lagi ada aroma mentega, taburan putih tepung di meja, dan ritual berjam-jam berdiri di depan oven. Karier kepencurianku pun kandas. Aku resmi menjadi mantan pencuri sultana. [13]
saya kali pertama tau ada jenis kue bernama sultana dari kak w looh, terima kasih telah menulis dgn indah kak.
sultana kue dari eropa. bentukannya macam-macam. cara mengolahnya juuga macam-macam. bisa jadi kayak kue kering, bisa jadi kayak biskuit kering. he-he.
Sultana ini sebutan untuk jenis kismis tertentu kalau di Jerman, sepertinya dipopulerkan orang2 Turki.
Aduh, baca tulisan kak W bikin inget masa2 kecil sering disuruh bantuin ibu bikin kue lebaran. Malesnya minta ampun karena bikinnya lamaaa, tapi abisnya cepet. Dan penasaran banget kue Sultana bikinan mama kak W. Ngebayangin kismis dicampur selai nanas dengan aroma cengkeh… hmmmm… semoga suatu saat nanti kue Sultana bisa muncul lagi di kehidupan kak W. Kalau boleh saya mau ikutan ngicip
Berasa baca cerpen di majalah Bobo. Ngangenin..
terima kasih sudah mampir dan bantu bersih-bersih sarang laba-laba di blog ini.
Baca blog ini seperti makan nastar dan teh hangat tawar, tak mau brenti..
Udah lama banget ga baca cerpen” gini, thank you Kak
hai, terima kasih. sayangnya, ini bukan cerpen. he-he.
Kesini krn klik link Dari IG story nya Lexy ..Dan ga nyesal sama sekali…terimakasih untuk cerita nya yg sederhana tp sangat2 indah. Aku sangat bisa ngebayangin kondisi dapur mama nya Mba Windy, karena itupun terjadi di dapur mama ku dulu, waktu aku SD-SMP Terimakasih untuk ceritanya Dan sedikit nostalgia nya ♥️
Ya Ampun.. baca tulisan ini kaya berasa mengenang masa kecilku. Hahaha. Suka banget sama tulisannya.. ringan.. tapi bikin terus ingin baca sampe akhir. Terimakasih mba Windy, tulisanmu menemani hari idul fitriku
kue sultana!
klo tusukan lidi ke kue sultana buatan mama selalu 9, lebih presisi katanya
isian kue sultana bikinan mama campuran susu kental manis, kismis dan sedikit cengkeh, yang klo tidak segera disimpan, bisa-bisa tidak sampai hari raya, karena saya dan kakak sulit berhenti mengunyah kue ini akhirnya kami jadi berharap ada yang gosong, soalnya klo gosong pasti tidak lolos syarat untuk menjadi sajian hari raya
terima kasih sudah menuliskan tentang kue sultana, kak W. saya jadi mengenang masa-masa menyenangkan ketika salah satu perihal hari raya adalah beberapa toples kue kering buatan mama di ruang tamu rumah
selamat hari raya, kak W!
aku suka banget , ringan dan menyenangkan awal membaca dan ikut merasakan sedih di akhir cerita, terima kasih kak W ❤️
Terima kasih sudah menuliskannya, Kak W. Aku seperti dibawa kembali ke masa kecil, ke dapur mama yang selalu penuh bahan-bahan kue setiap lebaran. Banyak hal yang diceritakan mirip, mungkin karena aku juga selalu berpindah-pindah mengikuti ke mana Papa ditugaskan dan Mama yang selalu punya keahlian tambahan membuat kue-kue lokal di mana kami tinggal.
Oh ya Kak W, sebagai orang Palembang, Kue Delapan Jam itu kue kebanggaan Mama yang tiap lebaran tidak pernah absen dari meja saji dan menjadi favorit semua anak-anaknya. Baru tahun ini Mama tidak membuatnya karena faktor usia dan aku belum mampu menduplikasi keahlian beliau soal ini hihihi.
Terima kasih tulisan bagusnya, ku jadi kangen juga sama Sultana buatan mama ku,. Hiks
Ceritanya ringaann bangeett mbak, lumayan utk mencharge mood aku yg lagi down dalam hal membaca
Ya ampun! Sultana? Bikin? Aku mau mendaftar jadi tetanggamu, kakak Windy 🙂
kalau sekarang kau jadi tetanggaku, ya tentu sudah tidak ada sultana lagi di rumah saban lebaran, mbak frisca. he-he.