di suatu tempat bernama sawenduy [1]

Yang terbaik biasanya selalu kita simpan untuk diri sendiri. Namun, di sebelah utara Teluk Cendrawasih, di Kampung Sawenduy, Distrik Raimbawi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, penduduknya mengajari saya memberikan yang terbaik untuk orang lain.

Berpekarangan laut. Anak-anak kecil di Kampung Sawenduy, Kepulauan Yapen, Papua bermain di pekarangan rumah mereka; laut.

OMBAK dan angin sedang besar. Laut yang biasanya murah hati mengaitkan ikan pada kail Apsalom Korano dan Raymond tidak berlaku sama hari ini. Sampai kapal yang kami tumpangi hendak merapat di bibir pantai yang berada di sisi lain kampung pemekaran Sawenduy, tak seekor ikan pun berhasil didapat.

‘Tak ada ikan, Nak,’ kata Apsalom kepada saya yang duduk di sebelahnya. Saya mengamati kail Apsalom yang hanya berupa seutas benang pancing dengan umpan bohongan terbuat dari tanaman tepi pantai yang dibentuk mirip ikan kecil. Biasanya hanya dengan itu semua ia bisa mendapatkan ikan untuk makan satu penghuni mes Saireri Paradise Foundation (SPF).

Beberapa kawan dari SPF melompat ke laut. Di pulau ini, bila kapal hendak merapat, beberapa awak kapal harus mendorongnya ke bibir pantai sambil menghitung ombak. Kalau salah mengambil ombak, kapal kesulitan merapat, yang ada malah terempas-empas.

‘Ayo, turun!’ kata Akmal Firdaus kepada Hanny dan saya. Kami berdua memunguti barang-barang, mengopernya satu per satu kepada kawan-kawan SPF yang sudah lebih dulu menyemplung ke laut. Demianus, masyarakat lokal yang tergabung dalam kelompok pelestari penyu binaan SPF, menarik sebilah papan, untuk dijadikan jembatan titian bagi saya dan Hanny. Kami berdua sebenarnya tak keberatan nyemplung, berbasah-basah seperti mereka. Tapi kata Akmal, lebih baik jangan. Selain tak dangkal, ombak di pesisir timur bagian utara Kepulauan Yapen ini besar. Penyu yang banyak mendarat dan bertelur di garis pantai Inggrisau dan Mambasiui saja bisa kesulitan naik ke darat gara-gara ombak. Ia khawatir kami malah akan terhempas lalu terseret. ke tengah laut.

Berusaha menahan kapal. Raymond tengah menahan kapal sewaktu berlabuh di tepi pantai agar tak terseret gelombang.

Saya dan Hanny yang tak pandai berenang seperti penyu, tentu memilih patuh. Alam tak boleh ditantang, saya percaya itu. Sejak hari pertama, saya menyaksikan sendiri bagaimana sulitnya merapatkan kapal di kampung yang menjadi lokasi mes utama SPF. Speedboat yang kami tumpangi dari Biak, tak bisa mendekati daratan. Beberapa kilometer dari garis pantai, kami dioper ke kapal kayu bercadik yang dilengkapi motor. Sekelompok lelaki yang terdiri dari empat sampai lima orang harus berenang sambil mendorong cadik kapal, melawan terpaan ombak, lalu mereka yang sudah sampai darat duluan akan menarik tali untuk menahan kapal agar tak dikirim kembali oleh gelombang ke laut.

Dari Biak, perjalanan menuju Kampung Sawenduy lebih efektif ditempuh dengan speedboat atau perahu kayu bermotor. Bisa juga dengan pesawat kecil, tetapi harus mendarat di Serui, ibukota Kepulauan Yapen, lalu lanjut dengan kapal atau jalan darat.

Saya melemparkan pandangan ke daratan. Setiap hari saya berpindah lokasi untuk menjelajahi pulau yang menjadi rumah bagi beraneka ragam burung—saya hanya bisa mengingat cendrawasih dan maleo—dan empat jenis penyu—belimbing, hijau, sisik, dan lekang. Populasi penyu yang bertelur di Inggrisau merupakan yang terbesar di kawasan Teluk Cendrawasih.

Sewaktu mengadakan pelatihan menulis dan bercerita untuk masyarakat lokal yang tergabung dalam kelompok pelestari penyu dan burung dua hari sebelumnya di mes utama SPF, dari Musa Rumpedai, ketua kelompok pelestari penyu, saya tahu Inggrisau dan Mambasiui merupakan pantai peneluran Penyu Belimbing terbesar ketiga di kawasan pasifik. Dua yang pertama adalah Jamursba Medi dan Wanmor yang terdapat di Sorong (bagian kepala burung Papua). Musa sendiri sejak 1980 telah melakukan relokasi sarang-sarang berisi telur penyu yang terancam secara swadaya. Ia memindahkan telur-telur itu ke pekarangan rumahnya agar aman dari serangan predator.

Sejak sebelum berangkat, Akmal memberi tahu lokasi mes SPF yang satu ini dekat dengan pemukiman penduduk. Karena besok hari Minggu, ia mengingatkan kami bila lonceng gereja telah berbunyi, sebaiknya kami tidak keluar atau bermain-main ke desa. ‘Yang tidak ke gereja dan keluyuran, nanti dipanggil Adat. Bayar Denda.’ Denda bisa berupa uang atau kerja sosial.

Akan tetapi, sejauh saya melemparkan pandangan, pulau tampak sepi. Saya tak melihat ada orang lain, kecuali rombongan kami di bibir pantai. Hanny meniti papan lebih dahulu. Gelombang memukul-mukul dinding kayu kapal mengakibatkan goyangan. Hanny sedikit oleng, saya mengulurkan tangan untuk memegangi tangan Hanny yang menggapai-gapai di udara agar keseimbangannya terjaga. Demianus berhasil menangkap tangan Hanny yang satunya lagi.

‘Anak, sini,’ Apsalom mengulur tangan ketika melihat saya tak punya pegangan. Saya menerima uluran tangannya. Ia membantu saya sampai ke darat. Begitu saya menjejak pasir, ia berkata, ‘Kita tidak dapat ikan. Tak ada ikan buat makan kalian hari ini.’ Ia rupanya masih memikirkan soal ikan yang tak tertangkap satu pun.

Kali ini saya bisa melihat wajahnya. Kacamata hitam yang selama pelayaran tadi menutupi matanya telah dilepas, bertengger di kepala. ‘Kita makan saja sayur, Pak,’ kata saya sambil tertawa-tawa. Saya bilang kepadanya bahwa sehari-hari pun saya lebih suka makan sayur.

Apsalom Korano, sang penguasa lautan. Apsalom Korano, kepala adat suku Nunsiari yang pandai menunggangi gelombang setelah sembuh dari malaria. 

‘Ah, jangan! Jauh-jauh kalian ke sini, masa kami kasih bunga pepaya, terong, dan kangkung saja,’ jawab Apsalom sambil berjalan. Saya mengekorinya. Di depan sana, teman-teman yang sudah lebih dulu mendarat berlarian sambil tertawa-tawa dan saling meledek. Kata Akmal, menemani kami adalah liburan buat mereka, seperti wisata meskipun yang dijelajahi kampung sendiri.

‘Kita bisa potong ayam saja nanti.’ Apsalom seperti berbicara sendiri.

‘Kenapa harus potong ayam? Jangan! Kita makan saja yang ada. Kemarin bunga pepaya dan terong. Itu enak banget!’ tukas saya.

‘Dari kemarin semua makanan buat kalian enak banget,’ sahut Akmal, ‘heran saya.’ Mendengar komentar Akmal yang sejak hari pertama sudah ditugaskan menjadi ‘pemandu’ kami, Hanny tertawa sambil berkata, ‘Memang enak ba-nget! Ya, kan, W?’ Memberikan penekanan pada kata ‘banget’.

Saya dan Hanny tidak berbohong. Buat kami berdua, makanan apa pun yang disajikan oleh teman-teman SPF sejak hari pertama kedatangan kami, memang enak banget. Mungkin karena sayur mayurnya dipetik langsung dari kebun sendiri, mungkin karena ikannya baru ‘mati sekali’. Ikan baru ‘mati sekali’ adalah istilah kami untuk menyebut ikan segar yang langsung ditangkap dari laut kemudian dimasak. Berbeda dengan ikan-ikan di pasar-pasar modern Jakarta, yang matinya sudah ‘berkali-kali’, bahkan dimasukkan ke peti es agar tak cepat busuk.

‘Ah, nanti pasti kita dapat apa yang bisa kalian makan.’ Rupanya ‘enak banget’ tak cukup meyakinkan Apsalom yang juga kepala adat suku Nunsiari. Saya terus berjalan mengekorinya. Sosok lelaki ini menarik perhatian saya. Sepanjang pelayaran tadi, saya duduk diam mengamati dia yang duduk di cadik kapal sambil membuat umpan-umpan dari tanaman. Sesekali ia berteriak, memberi komando. Kata teman-teman, Apsalom memang penguasa lautan. Kondisi samudra seperti apa pun, ia selalu berhasil menunggangi gelombang dengan kapal, baik kapal kayu ataupun speedboat.

‘Kau harus lihat aksi Pak Apsalom sewaktu mengendalikan kapal ini! Hebat betul dia,’ kata Suratman Baharudin, salah seorang peneliti dan ilmuwan di SPF, menceritakan soal Apsalom saat menembus badai dan ombak besar-besar dengan speedboat. ‘Ia seperti melihat ada jalan di laut!’ Saya membayangkan Poseidon dengan trisulanya sewaktu mendengar cerita itu.

Kami berpapasan dengan dua orang lelaki yang baru pulang melaut sewaktu merunuti garis pantai, menuju mes yang akan menjadi rumah kami berikutnya sampai besok siang.

‘Dapat ikan?’ tanya Apsalom. Mereka menunjukkan tiga ekor ikan yang panjangnya separuh tangan orang dewasa. Apsalom berbicara dengan mereka. Saya menebak-nebak mungkin ini soal cuaca dan tangkapan yang sedikit sebab sesekali mereka melihat ke laut dan langit. Awan berwarna kelabu, menandakan ia bermuatan air yang sebentar lagi tumpah menjadi hujan.

Sebelum berpisah, mereka mengulurkan seekor ikan berukuran paling besar kepada Apsalom lalu tersenyum kepada saya. ‘Wah, Anak, kau diberi ikan buat makan! Tak jadi potong ayam,’ ujar Apsalom kepada saya sambil tersenyum lebar. Saya yang tak paham mengapa makan jadi persoalan begini genting hanya bisa turut tertawa-tawa sambil berterima kasih.

Sewaktu duduk di balai-balai mes yang menghadap langsung ke pantai, saya menanyakan hal tersebut kepada Akmal. Sebenarnya, saya khawatir kehadiran Hanny dan saya membebani penduduk, saya meminta Akmal memberi tahu mereka agar tak terlalu repot memikirkan kami makan apa. Lelaki yang sedang menempuh pendidikan di IPB (Institut Pertanian Bogor) ini menatapi saya dengan sungguh-sungguh lalu berkata, ‘Orang di sini selalu berpikir untuk memberi yang terbaik, Mbak,’

‘Tapi, kan, kasihan. Mereka nanti kerepotan.’

Akmal tersenyum. ‘Itu, kan, pikiran kita. Mereka senang melakukannya.’

Matahari terbenam di Pantai Mambasiui. Senja di Pantai Mambasiui yang merupakan tempat favorit penduduk Sawenduy yang terlibat dalam kelompok pelestari penyu. 

Saya terpekur mendengar jawaban Akmal. Akmal bilang sudah menjadi kebiasaan, orang-orang di Kampung Sawenduy akan memotong ayam piaraan bila tak ada ikan yang bisa dimasak untuk tamu. Ini perkara serius. Buat mereka, menyajikan hidangan terbaik untuk tamu adalah wujud rasa suka cita dan cara sederhana menghargai kehadiran si tamu di rumah mereka.

Ini bukan sekadar menjamu. Ini soal memberikan yang terbaik untuk orang lain. Juga soal menerima dan mengizinkan orang tersebut melakukannya untuk kita. Soal kebersediaan.

Di pulau yang tak berada di ‘radar’ saya sebelumnya dan baru saya ketahui namanya ketika sampai, mendapatkan yang terbaik ternyata bukan soal sulit. [13]

Catatan: Tulisan ini pernah diterbitkan oleh sebuah media perjalanan pada 2014.

windy ariestanty

Author: windy ariestanty

a writer who loves traveling and falling in love with places she hasn't visited and people she hasn't met yet. she thinks that she is the wind.

6 thoughts on “di suatu tempat bernama sawenduy [1]”

    1. terima kasih sudah mampir. iya, semakin kita berjalan, semakin kita berkurang tahunya dan semakin kita bisa melihat kebaikan ada di mana-mana dan kita terima lewat cara-cara sederhana.

  1. Selalu nyaman baca tulisan-tulisan Mbak Windy, bring back memories sewaktu baca Life Traveler dulu.
    Terima Kasih Mbak Windy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *