Menjadikan orang yang ditemui di perjalanan sebagai tokoh utama adalah salah satu teknik kreatif dalam sebuah tulisan perjalanan naratif.
PADA hakikatnya, tulisan perjalanan selalu merupakan perkara manusia-manusia yang bersikap melewati waktu. Dan, ‘Naratif,’ kata Mark Kramer, ‘adalah soal manusia-manusia bersikap melewati waktu itu.’
Cerita tentang Tuan Ibrahim begitu membekas di ingatan saya. Lelaki pengusaha itu sangat menyukai budaya Barat—dalam hal ini Amerika Serikat. Ia mengendarai Mercedes, suka berkemeja kotak-kotak dan mengenakan celana jins biru, bangga dengan fakta bahwa Beirut memiliki dua Hard Rock Café, dan beranggapan bahasa Inggrisnya beraksen Amerika.
Saya mengenal Tuan Ibrahim dari tulisan Rolf Potts berjudul ‘My Beirut Hostage Crisis’ yang dimuat di The Kindness of Strangers, sebuah kompilasi tulisan nonfiksi perjalanan naratif yang dieditori oleh Don George. Buku terbitan Lonely Planet yang menceritakan kebaikan-kebaikan dari orang yang tak kita kenal selama perjalanan ini mendapatkan pengantar dari Dalai Lama. Hanny Kusumawati, rekan saya di @jktonfoot dan @writingtable, meminta saya membaca kisah Potts di Beirut. ‘Tuan Ibrahim-nya lucu, W,’ kata Hanny sambil menyodorkan buku itu.
Dan benar saja. Tuan Ibrahim memang lucu sekaligus bintang utama dalam tulisan tersebut.
Continue reading “menghidupkan karakter dalam tulisan perjalanan naratif”