dummy seharga dua juta *)

Akhirnya, kawan baik saya, Alexander Thian, akan segera merilis buku solonya. Alex pastinya adalah orang yang paling berbahagia karena berhasil merampungkan buku solo ini. Namun, saya adalah orang yang bertepuk tangan paling keras melihat dia berhasil menyelesaikan buku ini.

silakan diintip nukilan dari buku solo perdana Alex: The Not So Amazing Life of @aMrazing. 🙂 


“Mengapa saya harus marah, Pak?”

“Rama memang begitu, Dek. Dia punya dunia sendiri. Dunia yang bahkan tak bisa dimasuki kakak-kakaknya. Cuma saya yang bisa menyentuh Rama tanpa ia menjerit dan tantrum. Teman sekolah, guru, kakak-kakaknya, tak ada seorang pun yang bisa menyentuh Rama.”

“Saya ngerti, Pak. Saya pernah baca tentang autisme….”

“Membaca dan mengalami. Dua hal yang sangat berbeda, Dek. Saya sudah kenyang dicaci-maki dan diledek. Katanya, Rama autis karena dosa saya. Katanya, autis adalah penyakit kutukan. Lama-lama saya jadi bosan sakit hati.”

“Orang akan berkata apa saja untuk menjatuhkan orang lain, Pak. Yang saya lihat, Pak Soni bangga sama anak Bapak. Iya, kan?”

“Dia punya apa yang orang lain nggak punya. Dan menurut saya, autisnya Rama justru membawa berkah buat saya. Dua tahun yang lalu, saya bahkan nggak ngerti bahasa Inggris sama sekali. Gara-gara Rama, sekarang saya ngerti kalau dia mulai ngoceh pakai bahasa Inggris.”

Gue terkesima dan mulai memahami arti dari blessing in disguise”. Selalu ada pelangi setelah hujan, dan selalu ada senyum di balik duka.

Sisa hari itu gue habiskan dengan melayani Rama. Well, sebenarnya yang terjadi adalah, gue ngobrol dengan Pak Soni, sementara Rama asyik mengotak-atik komputer gue. Memilih berbagai lagu, memasukkannya sendiri ke kartu memorinya, tersenyum-senyum saat lagu yang dia belum punya ternyata ada di komputer gue, dan sesekali menyanyikan bait-bait lagu yang dia hafal. 

Gue agak terkejut saat mengetahui bahwa Rama familiar dengan lagu-lagu zaman dahulu. Dia sangat suka dengan Queen. Bicycle Race yang tadi dia nyanyikan adalah lagu favoritnya, terutama di bagian bunyi bel sepeda. 

Yang membuat gue kagum, Rama hafal hampir semua lagu Queen. Dari yang terkenal dan melegenda seperti “We Are The Champion”, “We Will Rock You”, “Another One Bites The Dust”, sampai lagu Queen yang berbahasa Spanyol, “Las Palabras Del Amor”, yang relatif kurang terkenal.

“Rama paling suka diajak ke pasar loak. Berburu kaset bekas Queen. Kalau kondisi kasetnya kurang bagus, dia akan berusaha, gimana caranya supaya suara dari kaset itu nggak ngayun saat diputar.”

“Kenapa nggak beliin CD nya aja, Pak?”

Rama hates Glodok.”

Kepala gue otomatis menoleh. Anak yang gue pikir asyik dengan dunianya sendiri, ternyata mendengar percakapan gue dengan bapaknya, dan menyahut.

But why?”

Pertanyaan gue tak menemukan jawaban. Rama kembali asyik bercengkerama dengan layar, keyboarddan mouse. Kerut di dahi Pak Soni menunjukkan kekhawatirannya bahwa gue akan tersinggung.

“Dek…”

“Kalau Bapak minta maaf lagi, nama Bapak saya ganti jadi Mpok Minah.”

Untuk sejenak, Pak Soni terbengong-bengong sebelum akhirnya terbahak mendengar celetukan gue.

“HAHAHA. Kamu lucu sekali. Rama memang sering begitu, Dek. Dia tahu kita omongin. Kalau topiknya menarik, Rama akan nyeletuk sekali, setelah itu dia akan kembali ke dunianya. Maaf, ya…”

“Tuh, kan. Bapak minta maaf lagi. Mau dipanggil Pak Minah atau Mpok Minah?”

“Oh, iya. Saya lupa! Maaf… Eh…” Gue tergelak melihat Pak Soni yang salah tingkah.

Ada jeda yang akrab setelah itu. Hangat yang timbul karena telah menemukan kawan ngobrol yang seru. Pelanggan-pelanggan lain yang datang ke konter dilayani kedua Hyena. Hari ini adalah harinya Pak Soni dan Rama.


*) sebuah nukilan dari ‘the not so amazing life of @aMrazing: meributkan yang tak penting, menyepelekan yang penting’, karya terbaru alexander thian yang akan diterbitkan oleh GagasMedia pada September 2012.

**)copyright untuk gambar: @GagasMedia.

Dixon Hamby iPhoneography: Women and men ;-)

Dixon Hamby iPhoneography: Women and men 😉

terperangkap di goa *)

            

Semakin jauh kakiku melangkah, suasana goa semakin hening dan dingin. Yah, aku juga tidak berharap akan menemukan pertunjukan barongsai, sih. 

            Terus, mana nih, harta karunnya? Sekeping logam emas pun tidak kutemukan. Atau tidak kelihatan, tepatnya. Seandainya ada lampu penerangan terang benderang, mungkin akan terlihat pundi-pundi  emas berlian di sepanjang dinding goa.

            LOH, KOK? Aku malah jadi serius begini nyari harta karunnya? Hahaha! Jadi malu. Lagian kalau beneran ada, pasti sudah ludes dijarah orang lain. Dan keberadaannya bukan di goa yang setiap hari didatangi turis ini.

            Namun, aku pantang menyerah! Langkahku tak akan terhenti sampai goa ini benar-benar buntu. Seandainya ada lubang kecil pun akan aku masuki sampai bisa kutembus! 

            Tiba-tiba, goa terasa bergemetaran sekitar dua detik! Sepertinya ia membenci ambisiku! Atau ada sesuatu di lantai lumpur tempat pijakanku, ya?

Lalu, terdengar bebunyian aneh. Seperti suara angin berembus kencang dan lenyap secara berkala. Mungkin suara kepakan kelelawar. Atau ada kunti sedang mengibaskan rambutnya?

            Goa bergemetar sekali lagi. Kali ini, agak lebih lama.

            Aduh, jadi kebayang kalau tiba-tiba ada gempa, kumpulan stalaktit itu pasti akan menimpa kepalaku dengan dahsyatnya.

Sialnya sinar senter mulai meredup, berarti aku harus keluar goa sesegera mungkin! Aku lantas berbalik arah, lalu merapat ke dinding goa agar bisa berjalan lebih cepat dan terarah.

            Aneh. Biasanya perjalanan pulang lebih cepat dibandingkan perjalanan datang. Ini, kok, sebaliknya, ya? Aku tidak mungkin salah arah mengingat goa ini hanya satu jalur tanpa cabang.

            Ternyata, saat meraba-raba dinding, tanganku juga terasa bergetar. Berarti ini bukan lagi sekadar lumpur yang berulah.

            Aku berusaha menenangkan diri. Mungkin ini gelaja alam biasa yang aku tidak tahu namanya. Di internet, tidak kutemukan fakta kalau Goa Lalay sering tremor. Atau mungkin getaran ini akibat anak krakatau yang masih aktif itu? Aku pernah baca di koran, akibat aktivasi  anak krakatau meningkat, dalam sehari wilayah kepulauan vulkanik di selat sunda itu bisa terjadi gempa ribuan kali. Dan, bisa jadi imbasnya sampai di desa ini, kan?

            Mungkin setelah selamat dari goa, aku yang akan menambahkan fakta itu.

            Lampu senterku menyinari aliran sungai sekitar tiga meter di depanku. Horeee! Tuh kan, aku tidak salah jalan! Aku melangkahkan kaki lebih cepat. Dan…

            …tiba-tiba saja kakiku terantuk sesuatu. Sepertinya, ada batu di balik lumpur. Badanku hilang keseimbangan hingga terjatuh ke undakan lumpur dengan penuh pesona hingga senter terlempar ke tengah sungai. Senter itu tersangkut bebatuan atau tahi apa pun itu karena sinarnya seakan menembus air hingga menyorot sebuah stalaktit di atasnya.

            Aku mencoba merangkak, tetapi kakiku gak bisa digerakkan sama sekali, seperti terjepit sesuatu.

            Bulu romaku meremang.

            Bagaimana jika aku pingsan? Lalu, aku mati dan tak ada yang tahu keberadaan jasadku?

            Sorotan lampu senter semakin meredup. Kian meredup.

            Hingga akhirnya gelap total.

            Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. 



*) sebuah nukilan dari ‘Ramalan dari Desa Emas’, sebuah novella karya Valiant Budi Yogi di dalam ‘Kāla Kālī’, terbitan GagasMedia.  ‘Kāla Kālī juga menghadirkan novella karya Windy Ariestanty.


 



epilog: bagaimana bila engkau patah hati? *)



Pada ulang tahunku tahun ini, aku patah hati. 

Setiap kali berulang tahun, aku semakin mendekati tempat asalku: ketiadaan. Ibuku bilang, dunia ini sendiri pun lahir dari ketiadaan. Karena lahir dari ketiadaan, mengapa pula harus mencemaskan kehilangan?

Ketiadaan itu meluaskan, kata Ibu, dan mempertemukan manusia dengan banyak hal, di antaranya cinta. ‘Aku berharap bisa melindungimu dari patah hati. Tapi itu tak mungkin.’

‘Kenapa, Bu?’

‘Karena mengalami kehilangan adalah bagian dari kembali kepada menemukan. Tapi jangan pernah kaulupa, kau tak akan pernah kekurangan cinta.’

‘Karena cinta itu besar?’

‘Karena aku tak akan berhenti mencintaimu.’

‘Seberapa besar kau mencintaiku, Bu?’

‘Sebesar kuku jari.’

Aku yang sedang menggigiti kuku jari tengahku terdiam. ‘Kuku jari?’ 

Ibu menatapku dengan tersenyum. Senyum yang selalu aku rindukan, terutama ketika aku ulang tahun dan patah hati. Dan malam ini, aku mengalami keduanya. ‘Iya. Kuku jarimu selalu tumbuh meski kaupotong. Sebesar itulah cinta. Tak pernah sangat besar, tidak juga terlalu kecil. Cinta itu cukup.’

Lima belas tahun kemudian, ketika Ibu sudah tak lagi bersamaku, aku baru paham filosofi kuku jari dan mengapa cukup adalah bilangan tak terhingga dari cinta.

Cinta selalu cukup untuk siapa saja. 

Semakin aku bertambah usia, semakin aku pun paham. Tak pernah ada cara yang tepat untuk mencintai. Yang disebut tepat adalah ketika aku dan kamu saling mencintai dengan cukup.

Ibu pasti bangga di sana. Putri kecilnya kini sudah dewasa dan berani mencintai sebesar kuku jari itu. Tak peduli berapa banyak ia mengalami patah hati.

Lilin ulang tahunku pun padam. Ini sudah malam, waktunya mataku memejam.

***

AKU selesai membaca naskah final perempuan yang dalam bahasa Sansekerta, namanya digunakan untuk menyebut dewa pencipta tertinggi. Beberapa perubahan yang signifikan terlihat. 

Kosong—judul naskah buku terbarunya—telah siap lahir ke dunia yang lebih luas, dunia pembaca. Sebuah dunia yang sebenarnya juga kosong.

*) epilog dari ‘Bukan Cerita Cinta’, sebuah novella karya Windy Ariestanty di dalam ‘Kāla Kālī’, terbitan GagasMedia. ‘Kāla Kālī’ juga menghadirkan novella karya Valiant Budi Yogi.

kāla kālī: hanya waktu yang tak pernah terlambat

gegas dan waktu tak pernah bisa berbagi ruang, apalagi, berbagi cerita. maka, saling mencarilah mereka, berusaha menggenapi satu sama lain. hingga satu titik, kāla menjadi mula dan kālī mengakhiri cerita.

***

Aku merasa kembali menjadi balita, mengentak-entakkan kaki ke lantai sambil bertepuk-tepuk tangan gembira. Tidak ingin membuang-buang waktu, aku segera meniup lilin sambil berharap dalam hati akan ada lilin serupa untuk tahun depan, di atas sepotong kue yang dibawakan Ibu. AMIN!

Berbagai potongan kenangan dengan Ibu berkelebatan hebat di benakku. Aku mungkin berbeda dengan remaja lainnya yang kala mengingat masa kecil selalu dengan tawa dan kebersamaan yang hangat; seperti yang kulihat di lembaran iklan-iklan susu balita atau es krim literan itu.

Dan, setiap kenangan itu hadir, ingin rasanya membalikkan langkah.  

(Ramalan dari Desa Emas, Valiant Budi)

Setiap kali berulang tahun, aku semakin mendekati tempat asalku: ketiadaan. Ibuku bilang, dunia ini sendiri pun lahir dari ketiadaan. Karena lahir dari ketiadaan, mengapa pula harus mencemaskan kehilangan?

Ketiadaan itu meluaskan, kata Ibu, dan mempertemukan manusia dengan banyak hal, di antaranya cinta. ‘Aku berharap bisa melindungimu dari patah hati. Tapi, itu tak mungkin.’

(Bukan Cerita Cinta, Windy Ariestanty)

***

Kãla Kãlī: Hanya Waktu yang Tak Pernah Terlambat adalah Gagas Duet, novella dari dua penulis kenamaan GagasMedia, Windy Ariestanty dan Valiant Budi. Keduanya mempersembahkan sebuah cerita yang bermain-main sekaligus memberi ruang pada waktu. 

[pathfinder] dina dua ransel: perjalanan adalah pembuka

‘Feel the world with your heart. Rasakan dunia dengan hatimu, tidak hanya dengan penglihatanmu,’ kata Dina Dua Ransel kepada saya untuk Pathfinder.

DIPICU oleh rasa penasaran akan dunia dan jenuh dengan kehidupan yang monoton, Dina Rosita dan Ryan Koudys—pasangan suami-istri yang dikenal dengan julukan ‘Dua Ransel’—memutuskan untuk bertualang menyusuri dunia sekaligus menjadi digital nomad.

‘Kami ingin melihat dunia dengan mata kepala sendiri. Ingin merasakan dunia dengan hati dan pikiran sendiri,’ cerita Dina kepada saya. Dina dan Ryan memilih Barcelona, Spanyol sebagai titik mula perjalanan mereka mengelilingi dunia. Mereka hanya ingin menjelajahi Eropa. Mulai dari mana dan berakhir di mana tak masalah karena perjalanan dilakukan jangka panjang.

‘Kenapa Barcelona?’ tanya saya.

‘Kebetulan transportasi ke Barcelona paling murah dari daratan Amerika,’ jawab Dina lugas. Daratan Amerika adalah tempat mereka bertolak. Itu pertimbangan yang paling masuk akal mengingat perjalanan mereka adalah mengelilingi dunia. Tujuan sepertinya bukan masalah karena bumi ini bulat.

Awalnya Dina dan Ryan memutuskan untuk melakukan perjalanan dengan memanggul ransel sampai mereka kehabisan dana dan harus kembali bekerja. Namun, setelah beberapa bulan terlampaui, keduanya tersadar bahwa pekerjaan bisa dilakukan selagi berpindah.

‘Jadi, kenapa harus berhenti?’ pertanyaan itu pun mengusik mereka. Dina dan Ryan berhitung. Selama mereka mampu membiayai gaya hidup nomaden ini mereka tak perlu surut. Diputuskanlah oleh mereka untuk menjadi digital nomad dan permanent traveler.

Sekarang, Sudah tiga tahun berlalu sejak keputusan besar yang mereka buat. Sampai hari ini, mereka pun terus berpindah. Loncat dari satu negara ke negara lain. Menjadi warga negara dunia. The world is their playground!

***

KENAPA harus berhenti?

Berhenti adalah hal yang paling ditakuti oleh para pejalan. Berhenti sama dengan mati. Para pejalan hidup dari bergerak. Meditasi mereka bukan diam. Meditasi mereka adalah mengayunkan langkah melihat dunia.

Dua Ransel menjadikan hati sebagai panca indera utama untuk melihat dan merasai nikmatnya dunia dalam keberagaman. ‘Juga petualangan,’ imbuh Dina soal apa yang dicarinya lewat traveling, selain autentisitas dan esensi lokal dari setiap tempat yang dikunjungi bersama Ryan. Tak heran keberagaman alam, tingkah laku dan budaya masyarakat, permasalahan sosial, karya senin, arsitektur, peninggalan sejarah, serta flora-fauna adalah hal yang paling menarik minatnya selama traveling. ‘Saya suka mencari apa yang menjadi ciri khas setempat, bukan sesuatu yang dibuat-buat untuk atraksi turis.’

‘Apakah tidak pernah merasa capek atau ingin berhenti sebentar?’ tanya saya penasaran.

Rasa capai tidak dipungkiri oleh Dina. Kalau keduanya merasakan itu, maka Dina dan Ryan akan melambatkan laju perjalanannya. Keduanya akan memutuskan berhenti di satu tempat, di mana pun itu asal nyaman, murah, dan memiliki akses internet yang lancar. ‘Kalau bisa yang alamnya indah. Kami akan beristirahat di situ.’

Berhenti sebentar pun adalah sebuah kesempatan untuk mencerna. Buat Dina yang sudah menjelajah lebih dari empat puluh negara ini, saat mereka ‘beristirahat’ adalah saat yang paling tepat untuk melihat ulang apa yang telah mereka dapatkan selama berjalan. Juga untuk bekerja dan sekaligus menyelami kehidupan lokal—terutama kulinernya—di tempat mereka memutuskan berhenti. Bahkan tak jarang, di tempat itu, Dina dan Ryan menemukan teman baru yang bahkan sampai saat ini masih bersahabat. Beberapa tempat yang pernah menjadi tempat ‘berhenti untuk beristirahat’ ini adalah Pulau Kreta (Yunani), El Nido (Filipina), Pulau Roatan (Honduras), dan Chiang Mai (Thailand). Hampir seluruh perjalanan dilakukan dengan lambat oleh Dua Ransel, kecuali ketika mereka sedang terburu-buru atau kurang sreg dengan tempat yang didatangi. Biasanya, keduanya akan singgah hanya untuk beberapa hari di sana.

Saya membayangkan perjalanan dan petualangan yang mereka lakukan. Dina bahkan pernah hampir hilang karena hanyut di Laut Karibia sewaktu paddle boarding di Pulau Roatan, Honduras. Tak hanya itu, perempuan bertubuh mungil ini juga pernah merayapi dinding tebing yang tegak lurus tanpa alat, tanpa pengaman, dan tanpa pemandu ketika pergi ke puncak Taraw Cliff di El Nido. ‘Saya bahkan sebenarnya tidak tahu kalau untuk mencapai puncak harus memanjat tebing bukan sekadar hiking lantaran mengira ada jalur zigzag landainya.’ Dua hal yang diakui Dina sebagai kekonyolan dalam perjalanan dan berharap tidak dilakukan oleh orang lain ini justru membuat adrenalin dan rasa cemburu menyelinap di hati saya. Buat saya itu petualangan. Dan kerap kali, kenekatan dalam sebuah petualangan menyaru dengan kebodohan. Tapi, itu bagian yang serunya bukan?

‘Lalu di mana rumah yang menjadi base camp kalian?’

Dina menjawab singkat. ‘Tidak ada.’ Pasangan yang bertemu sebelas tahun lalu di Tokyo ini menggunakan alamat orangtua untuk keperluan surat-menyurat. Saya tercengang. Bumi memang menjadi rumah bagi siapa pun. Namun, setiap pejalan pasti merindukan pulang. Ke mana perempuan ini memilih pulang.

‘Pernah merindukan “pulang”?’ Saya coba menelisik.

‘Ryan is my home. Berhubung saya melakukan perjalanan bersama Ryan, I’m always home.’

***

DINA dan Ryan bertemu di Tokyo ketika keduanya mengikuti sebuah program pertukaran pelajar. Ryan berasal dari Kanada, sedangkan Dina dari Indonesia. Pertama kali berkencan, Ryan mengajak Dina ke flea market (pasar loak) di Tokyo Stadium.

Dina tertawa mengenang kencan pertama yang sebenarnya tak disadari oleh perempuan ini di awal. Alih-alih pergi berdua, ia malah mengajak kawan-kawan yang lain untuk ikut. ‘Siapa yang menduga? Ngajak kencannya ke pasar loak sih!’ seru Dina. Kencan pun berlanjut, dari pasar loak ke Mc Donald dan toko 100 Yen. Keduanya adalah alternatif tempat makan dan belanja murah. ‘Sifat budget Ryan langsung terlihat pada kencan pertama kami dan masih konsisten hingga kini dalam budget traveling kami!’

Dina pun masih ingat ketika mereka berdua melakukan perjalanan berdua pertama kalinya sepuluh tahun lalu. Tujuan mereka Kyoto. Keduanya hanya memanggul tas punggung ala anak sekolah. Dari Tokyo, mereka naik kereta api lokal yang lambat. Itu alternatif transportasi paling murah. Keduanya bahkan seringkali harus berdiri. Dina sangat menikmati Kyoto yang terkenal dengan kuil-kuil tuanya. Favoritnya adalah Kiyomizu-Dera. Selama di Kyoto, keduanya menginap di rumah seorang ekspat yang iklannya mereka temukan di pusat informasi setempat.

‘Harganya murah. Mau tahu kenapa?’ tanya Dina. ‘Karena penuh dengan kecoak!’ sambung Dina yang menjadikan Samwise Gamgee—salah satu tokoh dalam The Lord of The Ring—sebagai sosok pejalan idolanya.

Tak ada hal yang menyurutkan langkah mereka. Tidak kecoak, tidak juga pengalaman yang membuat Dina nyaris hilang di lautan Karibia. Perempuan ini tak sekadar mencandu, tetapi selalu merindukan perjalanan yang memberikan ia perasaaan bebas dan luapan gairah karena suasana yang terus berubah serta hal-hal baru yang dipelajari. Bagi Dina, perjalanan adalah pembuka.

‘Pembuka mata hati dan wawasan. The more I travel, the more I realize I don’t know much. The world feels bigger and bigger. There are more and more stuff to discover.’ 

***

DAN perjalanan mengubah hidup keduanya. Dina menunjukkan daftar bagaimana perjalanan mengubah hidup mereka. Saya sempat terdiam sesaat ketika membaca daftar itu. Saya bertaruh, setiap pejalan pasti akan merunut perjalanan yang telah mereka lakukan. Bukan tempat mana saja yang telah mereka datangi, tetapi apa saja yang telah mereka alami di dalam setiap perjalanan itu.

My country is the world, and my religion is to do good.’ Dina mengutip Thomas Paine, di akhir ceritanya untuk Pathfinder. [13]

ketiadaan [nothingness]

Setiap kali berulang tahun, aku semakin mendekati tempat asalku: ketiadaan. Ibuku bilang, dunia ini sendiri pun lahir dari ketiadaan. Karena lahir dari ketiadaan, mengapa pula harus mencemaskan kehilangan?

Ketiadaan itu meluaskan, kata Ibu, dan mempertemukan manusia dengan banyak hal, di antaranya cinta. ‘Aku berharap bisa melindungimu dari patah hati. Tapi itu tak mungkin.’

… 

everytime i have my birthday, i feel closer to the place where i come from: nothingness. my mom said, this world was created from nothing. because we were born from nothing, then why should we worry about being nothing?

nothingness expands you, said mom, and makes humans encounter a lot of things, one of which is love. ‘I hope i could protect you from having your heart broken. yet that’s impossible.’

*)taken from ‘bukan cerita cinta’ by @windyariestanty.