Melayangkan Cerita, Melambungkan Budaya
Shandong bukan hanya tentang Konfusius dan daftar warisan dunia UNESCO. Shandong juga tentang upaya-upaya panjang merawat kebudayaan tua terus hidup tanpa tergerus zaman, di antaranya layang-layang dan kertas tahun baru di Weifang.
Ketika memasuki The Kite Museum di Weifang, ingatan saya berlari menuju ke sebuah pulau tua di Sulawesi Tenggara, Pulau Muna. Sejarah soal layang-layang berubah akibat ditemukannya lukisan cadas berusia lebih dari 4000 tahun di salah satu dinding gua di Muna yang menggambarkan aktivitas menerbangkan layang-layang. Layang-layang tertua di dunia ternyata tidak terbuat dari kertas dan tidak berasal dari Tiongkok, melainkan dari Pulau Muna, Indonesia dan terbuat dari daun kolope.
Di salah satu lemari pamer museum, saya menemukan layang-layang yang terbuat dari daun kolope tersebut. Selain memamerkan layang-layang dari Tiongkok, museum ini juga memamerkan layang-layang dari beberapa negara lain. Saya jadi tahu, jika di Muna, layang-layang adalah alat bertani dan penanda ikan yang tertangkap sudah bisa diangkat dari laut, maka berbeda perannya di Tiongkok.
Di negeri ini, layang-layang punya peranan strategis dalam perang. Adalah Jendral Han Xin yang mengusulkan untuk menerbangkan layang-layang besar terbuat dari kulit sapi yang bisa menerbangkan seorang prajurit ke atas perkemahan musuh. Dari udara, prajurit tersebut memainkan seruling yang mengumandangkan lagu rakyat kampung halaman musuh. Ketika musuh lengah karena tengah menikmati musik inilah, pasukan Jendral Han Xin menyerang.
‘Tak hanya itu,’ kata Dennis, pemandu dari China Internasional Travel Service (CITS), ‘saat perang, layang-layang juga berperan untuk mengangkut rakyat agar selamat.’
Selain dikenal sebagai tempat lahirnya layang-layang pertama kali di Tiongkok, di Weifang juga terdapat Desa Yangjiabu yang tersohor sebagai pusat warisan budaya tak benda Tiongkok. Di antaranya adalah teknik cetak kayu untuk lukisan kertas Tahun Baru Imlek. Biasanya kertas-kertas tersebut dilukisi beragam motif, dengan teknik cetak kuno yang menuntut ketelatenan dan ketepatan.
‘Saat ini, para pelukis kertas tahun baru kebanyakan orang-orang tua. Itu kenapa kebudayaan ini menjadi salah satu yang wajib kami lindungi agar tidak punah,’ cerita Dennis. Dennis bilang lukisan Kertas Tahun Baru Imlek akan selalu menghiasi pintu-pintu rumah ketika menjelang pergantian tahun. Bagi para pelukis kertas tahun baru dan pembuat cetak kayu, kedua warisan budaya ini sesuatu yang sakral. Agar budaya lukisan kertas Tahun Baru buatan tangan tidak punah, maka para seniman pun menggali dongeng tradisional dan memasukkannya ke lukisan. ‘It’s intangible culture of us. Kami harus memastikan budaya ini hidup dan bisa sampai ke generasi berikutnya.’
Merawat Keyakinan Tradisional
Mendekati Qufu, saya sebenarnya semakin gelisah. Bagaimana tidak, kota kuno yang menjadi kampung halaman Konfusius ini adalah alasan utama saya mengiyakan ajakan DwidayaTour ke Shandong. Di sisi lain, saya juga tertarik mengetahui bagaimana pemerintah Tiongkok memanfaatkan konfusianisme untuk meningkatkan pariwisata budaya. Tiongkok (rupanya) tahu betul bahwa pembangunan tak bisa mencapai hasil maksimal tanpa disertai upaya merawat akar peradabannya, yaitu kebudayaan tradisional. Keyakinan adalah salah satunya—baca: konfusianisme.
Ini yang membuat saya bertanya-tanya, mengapa kita tidak belajar dari Tiongkok? Katanya, kejarlah ilmu ke negeri Cina. Di Negeri ini, keyakinan tradisional dan agama-agama tua dilindungi, dihargai, dirawat agar jejak peradaban bangsa mereka terekam utuh. Agama-agama tua bisa dipraktikkan dan para penganutnya tak perlu melakukan ritual diam-diam agar tak dimusuhi dan dikata-katai kafir atau pengikut ajaran sesat.
Qufu pada Desember terlihat seperti foto pemandangan di kalender lama. Juntaian daun pohon dedalu yang memagari pinggir sungai dan selokan yang mengeliling benteng kota tuanya bergerak lambat ditiup angin.
‘Setiap gerbang dibuat oleh kaisar dari dinasti yang berbeda,’ kata Dennis. Saya menempel kepadanya, khawatir melewatkan satu saja cerita yang disampaikannya. ‘Apa yang ingin kau lihat?’ tanyanya.
Saya mengerjap. ‘Apricot Platform and Cemetery of Confucius.’ Dennis tersenyum tipis. ‘Kau akan melihatnya hari ini, tetapi berjanjilah untuk tidak terlalu lama berada di satu tempat. Kompleks Kuil Konfusius ini luas sekali. Nanti kau tidak bisa melihat semuanya.’ Dari Dennis saya tahu, bahwa Kompleks Konfusius ini adalah yang terbesar kedua setelah Forbidden City di Beijing. Saya memegang teguh janji saya. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, saya mengekori Dennis. Dennis pandai bercerita dan berpengetahuan luas. Ia banyak menceritakan tentang masa kecil Konfusius kepada kami. Konfusius, yang disebut Sage; Orang Bijak—lebih tinggi dari seorang filsuf, tidak lahir dari keluarga bangsawan. Ia rakyat kebanyakan, bahkan dibesarkan secara tunggal oleh ibunya. Namun, pemikiran-pemikiran visionernya tentang pendidikan, politik, kehidupan bernegara, kebijaksanaan sebagai pemimpin, membuat ia menjadi orang yang paling disegani di Tiongkok dan setara dengan keluarga kerajaan.
‘Salah satu kaisar kami bilang, Tiongkok akan selamanya berada pada masa kegelapan tanpa Konfusius,’ cerita Dennis ketika kami melewati sebuah gerbang lagi. Tak lama, kami tiba di sebuah area yang dengan mudah saya kenali sebagai Kuil Konfusius—Temple of Confucius, salah satu situs warisan dunia UNESCO. ‘Mana Altar Aprikotnya, Dennis?’ saya menowel pundak Dennis. Lelaki itu menggerakkan tangannya ke sebuah paviliun yang didominasi warna merah gelap dan dikelilingi pohon aprikot. ‘Itu altar yang sangat ingin kamu lihat, altar tempat Konfusius mengajar.’
Suara Dennis hilang dari pendengaran saya. Pelan saya mendekati altar yang sudah lama sangat ingin saya lihat. Membayangkan di sanalah Konfusius mengajar, membuka sekolah bagi siapa saja tanpa kenal golongan. Saya masih suka mondar-mandir di sekitar altar ini kalau saja Dennis tak mengingatkan masih ada satu tujuan saya yang harus dicapai hari itu dengan berjalan kaki: Makam Konfusius.
‘Hurry up!’ Dennis melambaikan tangan. ‘Atau, kau nanti tak keburu tiba di tempat yang paling ingin kau lilhat,’ katanya lagi sambil berbalik badan lalu melangkah lebar-lebar. Saya dan Alex berlari kecil mengejar Dennis.
Pemakaman Konfusius diakui sebagai pemakaman keluarga tertua dan terbesar di dunia. Makam seluas 183 hektar yang di dalamnya terdapat lebih dari 4000 monumen kuno dan 100.000 kuburan ini didedikasikan hanya untuk keturunan Konfusius sendiri. Hari ini, Sang Sage memiliki dua juta keturunan yang diketahui dan terdaftar.
Kami berjalan menembus gerimis. Kabut turun tipis-tipis, membuat pepohonan berusia ribuan tahun di area pemakaman yang mirip hutan ini hanya tampak seperti bayangan. Katanya ada 1000 lebih pohon dan 900 jenis tanaman di pekuburan ini. Sebuah gerbang terlihat lagi, dengan patung-patung tua berjejer. Dennis menoleh sebentar ke arah kami lalu memberi petunjuk, ‘Lewat sini.’
Jalanan setapak yang dipayungi rapatnya pucuk pepohonan mengantarkan kami melewati makam Kong Ji, yang disebut Dennis sebagai keturunan generasi ketiga Sage sendiri. Lalu di ujung sana, tak ada lagi jalan ke mana pun. Berlatar bayangan hitam pepohonan yang berselimut kabut, batu nisan besar terbuat dari pualam terlihat.
Tak ada suara pengunjung terdengar, semua diam. Beberapa orang sebelum saya meletakkan karangan bunga, khusuk berdoa, seolah sedang menyekari salah satu sanak keluarga. Saya tergerak melakukan hal serupa.
Ketika berlutut itulah, saya teringat kepada mereka yang mengkritisi Konfusius. Menganggap ia seorang misoginis yang haus kekuasaan. Terlepas dari cerita-cerita miring yang mengikutinya, Konfusius adalah sosok yang memberikan pijakan pada moral dan dasar berpikir; individual, sosial, politik, bahkan religi dan hukum. Ia menjelma menjadi kaisar tanpa mahkota yang dihormati seluruh rakyat dan kalangan kerajaan sendiri. Ajaran-ajaran yang disampaikannya di bawah pohon aprikot terus menjalar, bahkan 2500 tahun setelah kematiannya.
Saya, entah kenapa yakin, sang guru besar—Sage, mengizinkan diri dan ajarannya dipertanyakan oleh siapa saja. Bukankah ia yang meyakini bahwa kedunguan akan selamanya melingkupi mereka yang berhenti mempertanyakan banyak hal? Termasuk apa yang ia ajarkan. [13]
*) baca cerita sebelumnya:
Shandong: Tentang Orang Terbijak, Tempat Tersuci, dan Seni Bertanya (1)
Kisah yang sangat menarik untuk terus dicari dan dipelajari. Perihal ke budayaan itu sendiri, mungkin Indonesia seandainya lebih mengenalkan pada anak2 didiknya secara langsung, akan tertanam sebuah keinginan untuk selalu merawat dan merasa bangga sehingga keturunan2 atau pemuda pemudi tidak lupa akan sejarah asli di Indonesia maupun di tempat ia dilahirkan.
kita punya banyak kekayaan, termasuk budaya. memang sebagaimana kebanyak sifat pihak yang kaya, kita kerap abai dengan apa yang kita punya.
Oh. Sip sekali yang ini. Makasih buat ceritanya. Worth every single second of my reading time.
thank you!
Soal agama-agama tua, saya jadi inget novelnya Salman Rushdie, “Luka and the Fire of Life.” Di cerita itu, dewa-dewa dari masa silam dari penjuru dunia sudah kehilangan kesaktiannya karena sudah tak punya pengikut lagi, sampai-sampai mudah saja dikalahkan oleh seorang anak kecil.
Di Tanah Air sepertinya masih ada beberapa komunitas agama lokal yang masih memelihara keyakinan dan tradisi. Tapi sampai kapan akan bertahan, nggak ada yang tahu. Terlebih sekarang, ketika semuanya seakan-akan harus ikut standar mayoritas.
Btw, layang-layang ternyata pernah jadi semacam alat transportasi darurat, Mbak? Sebesar apa itu layang-layangnya, dan pakai tali macam apa… 😀
hahaha. besar sekali. mungkin kau bisa meramban di internet. cina membuat layang-layang dari sutra. ada yang dari kertas, juga kain. untuk transportasi mereka tentu butuh bahan yang sangat kuat. bangsa cina memang terkenal cerdik.