
Tak ada yang mengenal sebuah cerita sebaik sang penulisnya. Editor memastikan kehendak si penulis tercapai dengan cara yang masuk akal.
PENULIS yang mengenal baik tulisannya memiliki karsa—kehendak. Dan celakanya, kadang-kadang, kehendak ini yang membuat proses penyuntingan tulisannya mengalami ganjalan atau tidak mengalir mulus.
Sebuah Beasiswa
KETIKA menerima pesan dari Dewi Dee Lestari melalui aplikasi whatsapp soal permintaannya agar saya mau menyunting Aroma Karsa, saya tercenung beberapa saat. Bukan karena ini permintaan yang tiba-tiba, melainkan karena saya mempertimbangkan beberapa hal. Selain Dewi Dee Lestari sudah lama saya kenal secara personal, saya kerap menerima curhat kanan-kiri para editor yang menangani penulis-penulis yang memiliki nama besar—apalagi juga laris manis di pasaran. Betapa komunikasi dengan penulis-penulis ini bisa sangat menantang. Masukan dari editor soal bolong-bolong di naskah atau kalimat-kalimat dan logika-logika yang tak bekerja seringkali dianggap sebagai tindakan ‘menghancurkan’ naskah. Atau, ini yang sering bikin saya ketawa geli sendiri, menghilangkan ciri khas penulis. Saya juga menghindari menangani penulis yang memperlakukan editor sebagai tukang cek salah ketik atau PUEBI saja. Saya sejujurnya malas menghadapi ‘medan tempur’ yang tak perlu itu.
Pertimbangan utama lainnya adalah saya juga pembaca karya-karya Dewi Dee Lestari.
Pertanyaan sederhana yang muncul di kepala, apakah saya bisa mengambil jarak dan mengeksekusi Aroma Karsa murni sebagai naskah, tanpa terintimidasi, dibebani hubungan baik, apalagi dipenuhi euforia sebagai pembaca?
Lalu saya teringat kepada almarhum Mula Harahap, seorang editor senior dan tokoh perbukuan Indonesia yang disegani. Dari dia saya belajar, salah satunya bagaimana editor memisahkan diri dalam kapasitasnya sebagai editor dan pembaca ketika membaca sebuah tulisan. Editor sejatinya adalah pembaca. Bedanya, ia hanya memiliki satu kali kesempatan untuk memosisikan diri sebagai pembaca seutuhnya. Kesempatan ‘istimewa’ itu pun berumur pendek, yaitu hanya pada saat pertama kali ia membaca manuskrip. Itulah satu-satunya saat di mana editor sebaiknya menekan tombol ‘off’ agar bisa melahap teks dengan rakus dan mengamati reaksi yang muncul di dalam dirinya sebagai pembaca. Apakah ia suka atau tidak? Apakah cerita bisa dinikmati atau ada yang mengganggu? Adakah bagian yang ia tak sepenuhnya paham?
‘Editor seharusnya tak mudah terkesan, apalagi terbuai dan larut dalam jalan cerita. Semua itu akan membuatnya kurang awas melihat naskah,’ begitu kata Pak Mula. ‘Jadi, memang sebuah tantangan besar kalau kau mengedit buku dari penulis yang karya-karyanya kaubaca sebagai pembaca. Bila hal itu tiba, ambillah. Itu adalah proses belajar yang jarang. Sebuah “kelas penyuntingan” yang mahal.’
Malam itu, jeep yang saya tumpangi melewati lembah-lembah di Lore Lindu. Mata saya memicing ketika melihat taburan warna putih berpendar di balik kabut tebal. ‘Yang berpendar itu adalah anggrek-anggrek bulan liar. Lembah ini dikenal sebagai rumah seribu anggrek. Matamu awas juga,’ kata Pak Agus, pemandu saya.
Saya anggap itu sebuah pertanda. Maka, begitulah kelas ‘beasiswa’Aroma Karsa jatuh ke tangan saya tanpa sebuah surat aplikasi pun saya kirimkan.

Menyelaraskan Kehendak
HAL pertama yang saya lakukan seusai membaca Aroma Karsa pertama kali adalah membuka buku catatan. Saya menuliskan semua pertanyaan yang muncul di kepala sambil menyeruput teh hangat di sebuah warung kecil di Desa Wuasa, Lore Utara.
Sebelumnya, saya mengirimkan pesan singkat ke Mbak Dewi agar ia mengizinkan saya melihat outline beserta bio karakter Aroma Karsa. Ini adalah hal pertama yang selalu saya minta setiap kali menangani sebuah naskah. Saya perlu tahu alam berpikir penulis sejelas-jelasnya. Bila outline yang merupakan peta memasuki dunianya saja buram, dipastikan tak hanya saya, tetapi juga pembaca akan turut tersesat.
Berbekal outline dan bio karakter Aroma Karsa, saya memulai petualangan memasuki dunia aroma Jati dan Suma yang diciptakan Dewi Dee Lestari. Kali kedua membaca Aroma Karsa, tombol ‘On’ editor telah saya tekan. Saya membaca ulang untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan. Outline menjadi peta dan bio karakter adalah mata kompas. Yang saya temui jawabannya secara tersurat, saya hapus. Yang jawabannya tersirat dan belum ditemukan, saya tandai untuk dimintakan konfirmasi.


Bertumbuh di antara para editor senior, seperti Mula Harahap, Hikmat Kurnia, Tanudi, dan FX Rudy Gunawan, saya diajari skeptis, tidak malas mencari tahu, dan pantang berasumsi. Segala sesuatu harus dikonfirmasi. Alam pikir penulis harus ditelisik. Perkembangan tindakan karakter dipertanyakan dengan kehendak internalnya. Bagaimanapun cerita bergerak karena karakter bertindak. Dalam kehidupan nyata, kehendak atau motif inilah yang mendorong manusia mengambil tindakan dan keputusan.
Selain jalan cerita yang berlapis, karakter-karakter di Aroma Karsa pun membawa ‘kehendak’ masing-masing. Bio karakter yang akurat dan kehendak-kehendak tersembunyi yang (mungkin) hanya diketahui si penulis, apalagi untuk jenis novel seperti Aroma Karsa, akan menuntun editor (dan kelak pembaca) memercayai semesta yang dibangun penulis.
Pada proses ini, ‘kehendak’ penulis dan karakter-karakter ciptaannya dipertanyakan. Ada penulis yang membuka diri dan menjelaskan sebenderang mungkin, ada yang melihat ini sebagai ‘sidang’ skripsi atau tesis untuk mempertahankan apa yang sudah disampaikannya, dan tak jarang ada pula berkelit dengan alasan-alasan yang sudah saya sebutkan di atas. Siapa pun tahu, sebagai pihak yang paling mengenali cerita dan tokoh-tokoh ciptaannya, dipertanyakan ‘kehendaknya’ bukan hal yang menyamankan. Dewi Dee Lestari berkehendak penuh atas semesta Aroma Karsa, tetapi memasuki proses penyuntingan, semua kehendak itu sebaiknya ia pertanggungjawabkan dengan sebuah rumusan yang sangat sederhana: sebab-akibat.
Dari keselarasan kehendak dan tindaklah, tersambungnya benang merah sebab-akibat, sebuah jalan cerita yang bisa dipercaya pembaca lahir.
Berdansa di Antara Tenggat
PROSES penyuntingan Aroma Karsa digital—terbit seminggu dua kali di bookslife—disebut sebagai dansa oleh Dewi Dee Lestari. Yang namanya berdansa, maka satu sama lain akan memperhatikan tiap langkah yang diambil agar bergerak seirama.
Pengalaman menyunting yang berbeda saya dapatkan di Aroma Karsa. Kami tak hanya berdansa berdua, tetapi juga bersama para pembaca yang tergabung dalam digitribe Aroma Karsa.

Ruang interaksi yang dibuka seluas-luasnya bagi pelanggan Aroma Karsa Digital utuh turut menciptakan irama dalam proses penyuntingan. Unggahan mereka di dinding Facebook tak hanya jadi penyemangat dan hiburan menjelang tenggat waktu terbit, tetapi juga mata ketiga untuk turut menyempurnakan naskah. Diskusi-diskusi virtual yang memancing gelak tawa rutin digelar para anggota suku. Rasa ingin tahu soal kelanjutan cerita muncul karena sensasi membaca cerbung berhasil dihidupkan pada format digital. Semua sibuk mengumpulkan kepingan yang terserak di setiap bagian demi bisa menerawang jalan cerita Aroma Karsa.
Ada cerita menarik yang terjadi di belakang layar Aroma Karsa digital berkenaan dengan dansa penyuntingan ini. Pada Bagian 3, ada bab yang ditukar menjelang detik-detik akhir. Pada naskah awal, Bab 10 adalah Bab 9 dan Bab 9 adalah Bab 10. Dari sisi apa pun, tak ada yang tidak pas atau keliru dengan penempatan kedua bab ini di awal. Hanya saja, ada kehendak dalam diri saya yang ingin menukar posisi bab tersebut. Namun, satu hal yang menghalangi saya mengusulkannya ke penulis karena alasan yang sangat subjektif: saya merasa lebih seru. Pada struktur cerita yang sudah berjalan baik dan editor tidak mampu menyampaikan secara objektif usulannya, perpindahan semacam ini bisa sangat sensitif bagi penulis. Saya pun mengabaikan keinginan ini.
Menjelang detik-detik menuju tenggat waktu, saat bagian yang akan terbit sedang memasuki proses tata letak, sebuah surel masuk.
Hai Windy dan Tata,
Aku sudah cek revisian yang terakhir dan sudah oke secara konten maupun tata letak. HANYA SAJA… tahu-tahu aku jadi terpikir kemungkinan untuk menukar susunan Bab 9 dan 10.
Karena, cliff hanger terletak justru di ending Bab-nya Tanaya Suma.
Bagaimana kalau Bab Enigma Terbesar didahulukan menjadi Bab 9, Bab Tanaya Suma menjadi Bab 10. Dengan catatan, timeline pertemuan Suma dan Raras dimundurkan menjadi pukul sembilan, dan bukan pukul delapan. Sehingga masih cocok dengan timeline Jati yang ceritanya sudah di kamar.
Ditunggu feedback-nya ya,
~ D ~
Mendapati email ini, saya sontak berteriak ‘Aha!’ Ini seperti jawaban atas kehendak yang tak diutarakan. Saat itulah, saya mengenal nikmatnya ‘mendapat durian runtuh’. Dengan cepat kami menyepakati dan melakukan penyesuaian karena pertukaran bab dilakukan.
Dalam menyunting, editor dituntut logis dan sebaiknya menyeleksi—baca mengedit—kehendaknya sendiri.
Ketika saya mengusulkan perpindahan paragraf ataupun meminta penambahan adegan untuk mengukuhkan sesuatu di Aroma Karsa, saya harus menyampaikan alasan-alasan logis di balik permintaan itu. Bagaimanapun naskah di tangan saya bukan tentang saya, bukan tentang apa yang saya suka atau tidak.
Dewi Dee Lestari membuat proses berdansa Aroma Karsa yang menantang terasa sangat menyenangkan.

Memburu Detail
KETIKA tahu anggrek mendapat porsi istimewa, saya mau tak mau saya harus membuka dokumen soal anggrek-anggrek yang disebut di Aroma Karsa. Berkawan dengan editor dari beragam latar belakang, saya tahu menyunting buku anggrek adalah yang paling melatih kesabaran para editor buku-buku tanaman. Penamaan (nomenklatur) anggrek memiliki aturannya sendiri. Nama-nama itu mengandung informasi, tidak hanya menunjukkan genus dan spesies, tetapi juga apakah ia anggrek hibrida, silang, bahkan siapa penemunya. Saya mengontak editor-editor yang bergelut dengan naskah-naskah anggrek, belajar dari mereka. Riset anggrek menciptakan petualangan saya sendiri di Gunung Lawu. Inilah yang memunculkan keberadaan pohon mangga hutan di perjalanan Jati mendekati lokasi Puspa Karsa. Selain Aerides odorata (anggrek asem) hanya melekat di dua jenis pohon, salah satunya mangga hutan, mangga pun dalam kepercayaan Hindu diyakini sebagai makanan para batari.

Saya juga sempat mengontak Ivan Lanin, memastikan penulisan ‘Barselona’ pada naskah awal Aroma Karsa. 1,5 tahun lebih ‘bermain’ di luar dunia penerbitan, saya khawatir pengetahuan saya yang ini belum terbarukan. Ivan Lanin berbaik hati membantu saya mengecek soal kesepakatan dalam bahasa Indonesia untuk penulisan nama Barcelona. Ia butuh beberapa waktu sebelum kemudian mengabari saya bahwa belum ada kesepakatan baru untuk penulisan ‘Barcelona’ menjadi ‘Barselona’ dalam bahasa Indonesia. ‘Baru Selandia Baru saja yang disepakati untuk New Zealand,’ katanya.
Menyunting sebuah naskah bagi seorang editor adalah ruang belajar dan olah sadar. Saya tidak mengejar kesempurnaan—sebab itu mustahil, tetapi menjagakan kehendak cerita bisa dipercaya oleh akal sehat.
Dalam prosesnya, editor tak hanya menyunting bahasa, tetapi juga rasa beserta karsa. [13]

Catatan kaki:
Tulisan ini pernah diterbitkan di ‘Di Balik Tirai Aroma Karsa’ karya Dee Lestari.
Tulisan yang sangat menginspirasi, membuat saya jadi ingin belajar menjadi editor.
hai! terima kasih sudah singgah di sini dan membaca tulisan terbaru ini. pekerjaan editor adalah salah satu pekerjaan yang menyenangkan sekaligus menantang.
Kak W, aku menikmati banget pas baca buku ini. Senang bisa tahu prosesnya dari sisi editor.
terima kasih juga mau membaca tulisan di balik tirai penyuntingannya.
Saya waktu itu ikut pre order Aroma Karsa, dan tahu apa yang saya lakukan setelah itu? Hhahahahahah
* Suka mengendus, apapun itu. Tetiba saja penasaran dengan aroma daun dan yang lainnya
* Makin banyak kawan yang penasaran naik gunung di tulisan terakhir dengan jalur yang sama
* Khusus untuk aku, rela pulang ke Karimunjawa hanya untuk mencium bau biji adan bunga kayu Kalimasada, karena di rumah ada pohonnya hahahahaha
semua orang punya pengalamannya bersama aroma karsa. dan ada rasa ingin tahu yang terpantik.
Semoga saya ditakdirkan menjadi penulis yang naskahnya disunting oleh Kak Windy.
semoga kau berhasil menyelesaikan karyamu.
Sedih rasanya sampai sekarang belum sempat membaca buku ini sampai selesai. Mungkin ini saatnya mulai membacanya lagi dari awal.