mengapa menulis kisah perjalanan?

Titicaca adalah danau besar di wilayah pegunungan Andes yang berada di perbatasan Bolivia dan Peru, sering disebut "highest navigable lake" di dunia.
Titicaca adalah danau besar di wilayah pegunungan Andes yang berada di perbatasan Bolivia dan Peru, sering disebut “highest navigable lake” di dunia.

Tulisan perjalanan yang baik adalah tulisan yang membawa pembaca turut serta, merasakan, dan dengan sendirinya menjelma teman perjalanan yang baik bagi pembacanya.

PADA awal-awal saya belajar menulis kisah perjalanan, saya pernah bertanya kepada seorang penulis perjalanan yang karyanya kerap dimuat di media-media.

‘Apa hal paling penting ketika membuat tulisan perjalanan?’ Ia menjawab, ‘Tulisanmu harus bikin pembaca ingin pergi ke tempat tersebut.’

Saya tercekat. Itu pekerjaan berat. Saya pun bertanya mengapa.

‘Karena kita sedang menuliskan tempat. Ini berbeda dengan menulis novel atau cerita,’ sahutnya.

Saya tak lagi bertanya karena kepala saya keburu dipadati banyak pikiran tentang bagaimana membuat orang ingin pergi ke tempat yang saya ceritakan.

Berbulan-bulan lamanya saya bergumul dengan beragam tulisan perjalanan. Mencoba menemukan tulisan bagaimana yang membuat saya sampai ingin pergi ke suatu tempat. Nihil.

Saya menemukan kenyataan, bukan tulisan-tulisan itu yang membuat saya ingin pergi, melainkan foto-foto yang terpampang.

Sampai suatu ketika saya secara tidak sengaja membaca tulisan berjudul Travels in Georgia karya John McPhee.

Tulisan McPhee tidak membuat saya serta merta ingin ke Georgia, AS. Sebaliknya, saya terperangkap di dalam kisah petualangan penulis bersama dua orang ahli biologi dan ekologi—Carol Ruckdeschel dan Sam—mengelilingi Georgia untuk memunguti bangkai hewan-hewan yang mati tertabrak di jalanan. Sampai hari ini, tulisan itu masih menancap di benak saya.

Saya dibawa memasuki hutan-hutan pinus di negara bagian Georgia lewat peristiwa ditemukannya penyu sekarat di tepi jalan. Setelah Carol meminta seorang sheriff menembak mati penyu itu, perempuan berusia dua puluhan itu—masih di tepi jalan—mengiris-iris penyu yang diperkirakannya berusia sepuluh tahun, memisahkan daging dari cangkang dan mengambil telurnya.

‘Oh, menyedihkan. Kau hendak melakukan tugasmu, kan, Nak?’ kata Carol kepada bangkai penyu. ‘Itu kenapa kau naik ke darat. Kau hendak menguburkan telur-telur ini di tempat yang kau tahu aman…..’

Masih menggunakan pisau yang dipakai untuk mengiris penyu, Carol menguburkan telur-telur ke pasir. Lebih banyak dan lebih cepat daripada yang ibu penyu itu bisa lakukan seandainya ia masih hidup.

Carol memisahkan daging untuk mereka makan lalu memasukkannya ke karung plastik. ‘Baiklah. Ini adalah berkah yang kita dapatkan dari atas,’ ujar Carol, ‘sekarang, mari kita kembalikan ia ke tempat asalnya.’ Ia membuang bagian yang tidak bisa dimakan–cangkang, cakar, leher—ke kolam tempat penyu itu.

Pembaca yang awalnya belum diberi tahu apa profesi Carol Ruckdeschel akan merasa bersimpati kepada penyu malang itu. Padahal, tindakan yang dilakukan Carol adalah upaya menyelamatkan. Ini seperti menanam dua atau tiga pohon untuk satu pohon yang ditebang. Peristiwa itu terjadi pada hari kedua McPhee mengikuti dua ahli biologi dan ekologi ini. Ia memilih peristiwa tragis yang menimpa si ‘penyu malang’ sebagai pembuka cerita yang mengantarkan pembaca memasuki petualangan ketiganya; mengenali hutan-hutan liar, wilayah-wilayah konservasi, dan hewan-hewan di negara bagian ini bersama Carol, Sam, dan tentu saja McPhee.

Pada satu percakapan, McPhee menanyakan apa yang paling dirindukan perempuan yang lebih banyak menghabiskan waktunya di hutan-hutan liar bersama hewan-hewan.

‘Sama seperti manusia lainnya, pada akhirnya aku merindukan pertemanan,’ jawab Carol.

Jawabannya inilah yang menjadi momen Aha! saya.

Festival desa untuk memperingati ulang tahun Pulau Taquile.
Festival desa untuk memperingati ulang tahun Pulau Taquile, Titicaca.

Saya seperti diingatkan bahwa pada dasarnya tulisan perjalanan selalu kembali kepada nilai-nilai universal dalam kehidupan. Tulisan yang baik adalah tulisan yang bisa membawa pembaca turut serta, merasakan, dan dengan sendirinya menjelma teman perjalanan yang baik bagi pembacanya.

Belakangan saya baru tahu bahwa Travels in Georgia adalah salah satu tulisan nonfiksi naratif terbaik yang pernah ada pada pertengahan abad 20.

McPhee sendiri disebut-sebut sebagai salah satu penulis nonfiksi naratif papan atas dunia. The Pine Barrens masuk ke ‘The 86 Greatest Travel Books of All Time’ untuk kategori perjalanan naratif meskipun McPhee sendiri tak pernah melabeli dirinya sebagai penulis perjalanan.

Petter Hessler, salah satu penulis perjalanan berpengaruh mengakui karya-karya McPhee justru memperluas genre tulisan perjalanan. Kekuatan utama dari tulisan-tulisannya terletak pada struktur. Ia tak hanya memaparkan apa yang dilihat dan didapatkannya selama perjalanan, tetapi meramunya dengan alur yang memikat lewat struktur.

Tulisan McPhee tidak memaparkan sesuatu berdasarkan urutan waktu (kronologi), melainkan apa yang paling penting untuk disampaikan.

Dan itulah hal yang terpenting di dalam menulis: menemukan apa yang ingin disampaikan.

***

IF you want to write successful narrative, half the battle is knowing what you are looking for,’ kata Jack Hart di bukunya yang berjudul Storycraft, The Complete Guide to Writing Narrative Nonfiction, tetapi ia pun menambahkan bahwa untuk menuliskan kisah nonfiksi naratif yang bagus, maka menemukan struktur yang cocok dengan materi tulisan yang dimiliki adalah salah satu kuncinya.

Saya tidak akan membicarakan struktur dalam tulisan ini. Namun, sedari awal saya memberi bocoran hal penting yang justru jarang disampaikan para penulis.

Mereka yang memilih menggeluti kisah-kisah nonfiksi bergaya naratif, cepat atau lambat akan berhadapan dengan persoalan struktur bila ingin menulis kisah yang baik.

McPhee lewat Travels in Georgia mengajak saya bertemu penulis-penulis perjalanan naratif lainnya. Saya berkenalan dengan Bill Bryson, V.S Naipaul, dan Susan Orlean. Masih ada sejumlah nama lain yang membuat saya berdecak. Kejelian mata mereka mencari cerita di balik perjalanan membuat saya tak hanya berjalan-jalan, tetapi juga kembali belajar menulis dan mendapatkan cara pandang baru.

Lewat tulisan-tulisan mereka, saya menyadari bahwa bahan dasar dalam tulisan perjalanan naratif bersifat universal dan tidak hitam-putih. Hal pertama yang dibutuhkan adalah ketajaman mata untuk mengenali mana yang berpotensi menjadi ‘cerita’ dari setiap kejadian atau realitas di perjalanan.

Satu ketika, saya membaca tulisan Susan Orlean tentang perjalanannya di Fez, salah satu kota di Maroko. Ketika banyak tulisan perjalanan di Maroko membicarakan pasar-pasar di kota tua yang terkesan magis dan eksotis, Morroco’s Extraordinary Donkeys karya Susan Orlean justru membuat saya mengenal Fez lewat keledai, hewan pengantar utama di negara ini.

Ia memulai ceritanya dengan sebuah pengakuan bahwa keledai yang tak mungkin ia lupakan berasal dari sudut-sudut medina (kota tua) Fez, yang punggungnya dibebani enam televisi berwarna. Mereka bertemu di sebuah persimpangan jalan yang selebar keset kamar mandi. Susan mengaku ia terpukau dengan binatang ini sejak pertemuan pertama mereka sepuluh tahun silam sebelum kedatangan keduanya ke Maroko.

‘Ketika kunjungan berakhir dan harus pulang, saya menyadari, saya sudah jatuh cinta kepada para keledai, kepada kelembutan sederhana di wajah mereka dan tindak tanduk yang penuh kepatuhan dan kesabaran, bahkan juga kebandelan mereka,’ tulis Susan.

Di Amerika, tulis Susan, wajah pesimis keledai digemari karena dianggap lucu. Sementara di Maroko, wajah pesimis keledai yang penuh kepatuhan itu sering berbarengan dengan kelelahan dan keputusasaan sebagai hewan pekerja.

Pada kunjungan keduanya, Susan menjelajah pasar-pasar keledai di Maroko. Ia menyeret saya ke Casablanca, Rabat, dan Fez untuk mencari tahu soal keledai yang merebut hatinya.

Ia menyambangi para pemilik, penjual, dan dokter hewan yang bertugas memeriksa hewan ini. Saya tertawa sewaktu ia mengira bahwa H’mar adalah nama populer untuk keledai di Maroko, sampai kemudian seorang pemiliki keledai memberi tahu bahwa di negeri itu, keledai tak diberi nama seperti anjing atau hewan piaraan lain.

H’mar adalah keledai dalam bahasa Arab. ‘Keledai hanya taksi,’ jelas lelaki itu.

Keledai adalah hewan pengangkut utama di Maroko.
Keledai adalah hewan pengangkut utama di Maroko.

Sebuah jawaban yang membuat Susan bertanya-tanya mengapa di Maroko, hewan berjasa ini tak diapresiasi. Petualangan saya menjelajah Maroko bersama Susan berlanjut. Berikutnya, ia mengajak saya mondar-mandir di lorong-lorong medina Fez untuk menemukan di mana hewan-hewan ini tinggal.

Di Fez, area urban terluas di dunia yang tak bisa dilewati mobil dan truk, keledai justru memadati lorong-lorongnya tanpa diketahui dari mana mereka berasal.

Selain turut merasakan hiruk-pikuk jual-beli keledai di Khemis-des Zemamra, pasar keledai terbesar di Maroko, pada akhir cerita saya pun bisa merasakan kekecewaan Susan.

Ia tak bisa membawa pulang seekor keledai cokelat mungil yang ditawarkan kepadanya seharga 1200 Dirham di pasar yang berjarak tempuh lima jam berkendara dari Fez.

***
menjelajahi Petra hingga ke balik bebukitan untuk menemukan jejak peradaban Nabatean, kelompok suku Arab Kuno.
Menjelajahi Petra hingga ke balik bebukitan untuk menemukan jejak peradaban Nabatean, kelompok suku Arab Kuno.

KEBANYAKAN orang berpikir bahwa tulisan perjalanan naratif berkaitan dengan kemampuan mendeskripsikan tempat dan jalinan kalimat yang wow berkat diksi yang memukau. Tentu saja kedua hal itu penting. Namun, ada yang jauh lebih penting sebelum kita membicarakan soal deskripsi dan pilihan kata.

Menulis bukan soal membuat kalimat bagus atau memikat. Ini soal memilih apa yang ingin kita sampaikan dan bagaimana menyampaikannya dengan tepat.

Pada Makassar International Writers Festival 2014 ketika saya mengisi lokakarya tulisan perjalanan naratif, seorang peserta bertanya apa hal yang harus mereka lakukan untuk bisa membuat tulisan perjalanan naratif.

‘Membaca lebih banyak, menulis lebih banyak, dan yang paling penting terus melakukan perjalanan,’ jawab saya.

Penjualan kerajinan kulit di pasar Firenze tengah asyik membaca sambil menunggui dagangannya.
Penjual kerajinan kulit di pasar Firenze, Italia, tengah asyik membaca sembari menunggui dagangannya.

Membaca lebih banyak adalah cara belajar yang efektif. Di kelas menulis untuk jenis tulisan apa pun, salah satu hal yang wajib dilakukan para peserta adalah membaca banyak karya penulis lain dan mencermati cara mereka menulis.

Saya suka membedah cara para penulis-penulis yang saya sebutkan namanya tadi dalam menyampaikan sudut pandang dan teknik-teknik menulis yang mereka gunakan. Setelah itu, saya berlatih menulis cerita-cerita yang saya temukan selama perjalanan. Belajar memasukkan data dan informasi berkenaan dengan tempat ke tulisan tanpa membuat tulisan tersebut menjadi Wikipedia.

Konon, penulis yang baik adalah seorang pengamat yang baik. Dalam tulisan perjalanan naratif, pengamatan yang dilakukan penulis tak hanya eksternal, tetapi juga internal. Ia merumuskan pesan apa yang ingin disampaikan lewat tulisan perjalanannya lalu menata tahapan-tahapan yang membawa ia ke pemikiran tersebut dalam bentuk tulisan.

Dari para penulis tadilah saya belajar menulis kisah perjalanan yang saya mau. Sebuah tulisan yang mengajak pembaca menikmati dan turut dalam perjalanan yang melampaui letak geografis.

Bila pada akhirnya pembaca tergelitik untuk menyambangi tempat-tempat yang menjadi lokasi cerita, maka itu adalah dampak dari sebuah tulisan perjalanan yang baik, yang berhasil memikat hati dan melibatkan pembaca.

Menulis tak ubahnya perjalanan itu sendiri. Bahkan, pada setiap proses menulis kisah perjalanan naratif, seseorang melakukan dua perjalanan sekaligus dalam satu waktu;–menjelajahi semesta dan mengeksplorasi kata-kata. [13]

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada 2015 di sebuah media perjalanan.

windy ariestanty

Author: windy ariestanty

a writer who loves traveling and falling in love with places she hasn't visited and people she hasn't met yet. she thinks that she is the wind.

13 thoughts on “mengapa menulis kisah perjalanan?”

  1. terima kasih Mbak W untuk tulisannya, membuat saya kembali bersemangat untuk terus memperbaiki cara menulis sebuah kisah perjalanan.

    1. banyak terima kasih sudah mau singgah ke sini dan membaca tulisan soal menulis kisah perjalanan ini. senang kalau isinya berguna.

  2. Datang kesini setelah melihat postingan mbak W di instagram ttg menulis cerita perjalanan. Membantu saya utk mengasah kejelian dlm menemukan hal yg ingin disampaikan dlm suatu cerita. Terimakasih

    1. terima kasih sudah berkunjung ke rumah ini. semoga ada remah-remah yang bisa dipungut dan sedikit mengenyangkan rasa ingin tahu. selamat berlatih menulis.

  3. Membaca tulisan ini jadi tambah semangat untuk segera mulai menulis dan buat blog. Semoga kelak bisa ngikutin jejak mbak W yg aktif menulis dan menebar kebermanfaatan lewat tulisan. Terima kasih mbak W.

    1. hai-hai! terima kasih sudah mampir ke blog. aku nggak rajin juga ngeblog. sesekali. itu pun pasti karena dapat dorongan apa, lalu bangun tidur buka blog dan unggah. belakangan aku sedang melihat tulisanku yang tersebar di media dan mengumpulkannya. tulisan ini pertama terbit di sebuah media perjalanan pada 2015.

  4. Terima kasih mba Windy untuk tulisannya. Yang akhirnya saya sadar, ternyata emang susah untuk membuat pembaca tertarik dateng ke tempat yang kita ceritain atau sekedar betah buat baca tulisan kita sampai habis.. Emang bener harus baca-baca lebih banyak biar paham kenapa suatu cerita/narasi bisa jadi menarik dan berikutnya mulai coba diterapin ke tulisan kita..

    1. Semangat! Di situlah kesenangannya menulis cerita perjalanan. Nonfiksi kreatif membutuhkan ketekunan untuk memungut cerita-cerita yang terserak di perjalanan lalu diriset lanjutan hingga merajutnya menjadi sebuah cerita perjalanan yangn memikat.

  5. Sebaiknya Anda mulai berhati-hati dalam menulis kisah perjalanan. Sekarang ini, apa-apa yang dibagikan di media sosial gampang sekali menjadi viral. Apalagi jika dibagikan oleh orang-orang terkenal/terpandang.

    Jangan sampai kisah perjalanan Anda menjadi viral sehingga membuat (banyak) pembaca tergelitik untuk menyambangi tempat-tempat yang menjadi lokasi cerita Anda. Dari sisi sosial-ekonomi memang bagus. Akan tetapi tidak dari sisi lingkungan. Silakan bayangkan jika foto Petra yang Anda tampilkan pada tulisan ini dipadati ratusan manusia.

    Sekali lagi, saya menyarankan Anda untuk lebih berhati-hati dalam menulis kisah perjalanan. Sebab efek tulisan akan berdampak besar bagi masa depan lokasi cerita. Hanya kejadian luar biasa seperti pandemi virus saat ini yang mampu mencegah manusia untuk menyambangi tempat-tempat tersebut.

    1. hai, susan. terima kasih untuk sarannya. tentu saya tahu hal itu. saya tidak tahu sudah berapa lama kamu mengikuti tulisan-tulisan perjalanan saya. kalau sejak mula, maka kamu akan tahu sikap dan pilihan saya: itu yang membuat saya tidak menulis tulisan pariwisata yang menyarankan orang-orang harus pergi ke mana, naik apa, makan apa, dan melihat apa.

      di satu sisi, mungkin ada baiknya kamu juga membaca baik-baik apa yang saya tulis sehingga kamu tahu saya sedang berbicara dalam konteks apa.

      terima kasih sudah mampir ke mari dan jaga kesehatan, ya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *